Senin, 29 Desember 2014

Masyarakat Adat Sagea-Kya Tolak PT FPM

Pembangunan pabrik (smelter) milik perusahan tambang PT First Pasific Mining yang berada di Desa Sagea dan Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, mendapat penolakan dalam bentuk demonstrasi dari masyarakat di dua desa tersebut. Penolakan ini juga dikarenakan perusahan sama sekali tidak perna melakukan sosialisasi AMDAL. Apalagi aktifitas perusahan ini jaraknya tidak berjauhan dengan pemukiman penduduk, Talaga Legae Lol, salah satu danau yang bersejarah serta menjadi pusat aktifitas ekonomi masyarakat serta Goa Boki Maruru yang menjadi andalan wisata serta tempat yang kaya dengan nilai sejarah.
warga Sagea unjuk rasa ke perusahan

Demontrasi yang berlangsung dari tanggal 20-21 Desember 2014 itu dipusatkan di lokasi perusahan. Puluhan massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat itu memblokir jalan masuk ke perusahan dengan sejumlah pohon yang mereka tebang lalu diletakan di sepanjang jalan. Mereka menyayangkan kebijakan bupati Halteng, Al Yasin Ali, yang mengeluarkan izin kepada perusahan diatas perkebunan warga. Bagi mereka perusahan ini tidak saja memberikan dampak negative terhadap kerusakan lingkungan, tapi juga masyarakat akan kehilangan sumber ekonomi utama dari hasil kebun seperti Kelapa, Pala dan Sagu.

Kami sangat menyayangkan kebijakan Bupati ini, sebab kehadiran perusahan akan membuat kami semakin sengsara, kami akan kehilangan tanah dan kebun yang ratusan tahun lamanya menghidupi kami, termasuk Goa Boki Maruru dan Talaga Legae Lol yang selama ini memberi kami ikan dan air untuk kebutuhan hari-hari” ungkap Supriyadi, salah satu massa aksi.

Lanjut Supriyadi, sangat aneh, satu sisi pemerintah mengkampanyekan pelestarian objek wisata Goa Boki Maruru tapi sisi lain mereka memberikan izin kepada perusahan tambang untuk mengeksploitasi kawasan wisata tersebut.
masyarakat blokir jalan perusahan

Bupati Al Yasin Ali lewat Malut Post (22/12) mengatakan, pembangunan pabrik smelter ini sendirinya akan memberi dampak kemajuan investasi pertambangan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten Halteng. “Ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan juga bisa mendorong akses lapangan pekerjaan masyarakat di perusahaan” ujarnya.
Sementara juru bahasa PT. First Pacific Mining Djohan Bonardi dilansir Malut Post (22/12) menyampaikan, sosialisasi AMDAL baru akan dilakukan setelah proses kegiatan peletakan batu pertama pabrik Smelter PT. First Pacific Mining dilakukan. “Target kami sosialisasi akan kami lakukan di desa-desa yang berdekatan dengan tempat beroperasinya perusahaan,” kata Djohan. Dia menyampaikan aksi yang dilakukan warga tidak mempengaruhi proses pembangunan pabrik Smelter yang dilakukan saat ini. “Tidak berpengaruh,”tandasnya
Perusahan dengan izin 540/KEP/241.A/2011 yang dikeluarkan oleh Bupati Halmahera Tengah ini dibawahi Pacific Group dengan luas konsesi sebesar 5.000 hektar. Sebagian wilayah konsesinya masuk dalam kawasan hutan lindung dan cagar alam seperti Goa Boki Maruru yang menjadi andalan pariwisata Halmahera Tengah.

Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Tengah, pada tanggal 21 Desember 2014, bersama-sama meletakan batu pertama pembangunan smelter di lokasi perusahan sebagai tanda dimulainya aktifitas pertambangan tersebut *(Iki/MK)

Jumat, 26 Desember 2014

Warga Ancam Boikot Baprik Smelter

WEDA – Masyarakat lingkar tambang di Desa Sagea, Kecamatan Weda Timur, mengancam memboikot kegiatan peletakan batu pertama pembangunan pabrik smelter PT. First Pasific Mining, Minggu (21/12) besok. Menurut warga, sampai saat ini perusahaan itu belum pernah melakukan sosialisasi tentang Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) pada masyarakat.

“Kami akan mengarahkan kekuatan masyarakat di Desa Sagea untuk memboikot rencana peletakan batu pertama pembangunan smelter milik PT. First Pasific Mining,” kata Latif, salah satu warga setempat kepada Malut Post, Jumat (19/12) kemarin. Ia mengatakan bukan hanya soal amdal yang belum disosialisasikan itu. Tapi juga pembebasan lahan milik warga yang masih bermasalah. “Tanaman pohon sagu milik warga belum dibayar. Dan Pemkab Halteng diam,”katanya. (rid/kox).

2014; Sebagai Tahun Penindasan

Tinggal menghitung hari kita meninggalkan tahun yang penuh Penindasan. 2014 dalam berbagai catatan adalah tahun dengan esklasi konflik agrarian yang terus meningkat.Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat, terjadi 472 konflik agrarian, terdapat 19 orang tewas, dan 2,8 juta hektar tanah rakyat di rampas. Penanganan masalah agrarian yang semakin akut ini, oleh KPA mengusulkan pemerintah membuat pengadilan khusus agraria

AMAN sendiri menyampaikan laporan kasus-kasus marginalisasi yang harus diterima masyarakat adat. Sekitar 40 kasus komunitas masyarakat adat berhadapan dengan perusahan, tambang, sawit, HTI-HPH, dan Kehutanan, (Baca Inkuiri Nasional). Selain itu RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) dan Putusan MK-35 tentang Hutan Adat pun tidak dilaksanakan sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Akibatnya marginalisasi dan kriminalisasi terus berlanjut. Upaya masyarakat adat untuk hidup sejahtera tidak tercapai sampai masa kini. RUU PPHMA sendiri telah diusulkan dari tahun 2011, sampai periode SBY selesai tidak sahkan.

Situasi ini diperparah lagi dengan berlakunya UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusak Hutan (P3H). Akibatnya terdapat 9 warga adat dikriminalisasi atas nama UU tersebut. Masyarakat adat juga dilarang untuk melakukan aktifitas diatas wilayah adat mereka yang masuk menjadi kawasan hutan. Misalnya di Maluku Utara, Gubernur dan pihak Kehutanan melarang suku Tobelo Dalam untuk melakukan aktifitas di dalam kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah, padahal hutan tersebut masuk dalam wilayah adat mereka.

Penindasan oleh Negara sendiri bersama korporasi terjadi berulang-ulang kali dari tahun ke tahun. Negara yang tugas utamanya melindungi rakyat dari ketidakadilan justru terbalik perannya saat ini menjadi monster yang menakutkan. Negara hadir diatas wilayah adat dengan wajah yang berbeda, bentuknya seperti buldoser, dll, yang siap menggusur tanah, hutan dan pemukiman masyarakat adat nama kepentingan Negara.

Para aktivis yang berjuang atas nama HAM, dikriminalisasi karena dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan Negara. Kasus seperti Eva Bande adalah potret nyata dimana pejuang HAM belum mendapat perlidungan dari Negara.

MP3EI menjadi magnet yang menakutkan saat ini. Jika Jokowi-JK tidak serius meninjau kembali proyek tersebut, maka diperkirakan terjadi pelanggaran HAM yang massif, sistematis dan terstruktur (baca: kajian Komnas HAM). Proyek ini telah berjalan dari tahun 2011 dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2025. Selama perjalanannya sudah terjadi penggusuran tanah-tanah warga untuk memuluskan kepentingan pemodal yang berinvestasi di atas wilayah tersebut. Salah satu contoh nyata adalah kasus PT Weda Bay Nikel di Halmahera Tengah. Perusahan asal Prancis tersebut menguasai wilayah adat suku Sawai dan Tobelo Dalam untuk jangka waktu kurang lebih 30 tahun. Sekitar 250 KK yang berdomisili di Gemaf, Lelilef Sawai dan Lelilef Woebulen harus kehilangan tanah. Belum lagi akses mereka melaut dan memungut hasil hutan tidak lagi sebebas dulu sebelum perusahan hadir. Tentulah kepentingan Negara – pemodal telah mencerabut hak hidup masyarakat adat setempat dan tentu akan terus berlanjut.

2014, kita masih berhadapan dengan problem klasik yang harusnya serius diurus oleh Negara. Pada 2015 nanti, soal-soal seperti pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, penyelesaian konflik agrarian dan pelanggaran HAM, perlindungan pejuang HAM, mendorong pembangunan yang bermartabat dan soal-soal lain harus diutamakan oleh pemerintah. Kita menuntut Presiden Jokowi untuk memimpin perjuangan pencapaian cita-cita tersebut diatas. Bangsa ini tidak akan bisa bergerak maju jika persoalan klasik seperti diatas tidak bisa kita selesaikan segera. *Semoga

Penulis: Munadi Kilkoda (Ketua BPH AMAN Malut)

Pacific Group Bangun Smelter di Sagea

WEDA – Gubernur Maluku Utara KH. Abdul Gani Kasuba dan Bupati Halteng M Al Yasin Ali, Minggu (21/12) meletakkan batu pertama pembangunan pabrik smelter PT. First Pacific Mining (FPM) di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara. Sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Malut, Pemkab Halteng dan 20 Anggota DPRD Halteng hadir dalam kegiatan itu. Ada juga Kapolres Halteng AKBP Baron Wiryanto. Begitu juga dengan jajaran direksi Pacific Group yang membawahi PT. First Pacific Mining. Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba menyambut baik atas pembangunan smelter itu. Harapannya, dapat memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat. “Kita harapkan, kegembiraan dan kebahagian semua yang hadir dalam kegiatan ini tidak hanya sekedar meninkmati keramaian yang ada, tapi perusahaan ini dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat Kabupaten Halmahera Tengah,” ujarnya.
BATU PERTAMA: Seremoni peletakan batu pertama pembangunan pabrik smelter PT. First Pacific Mining (FPM) oleh Gubernur Malut KH. Abdul Gani Kasuba dan Bupati H.M Al Yasin Ali
Dia juga menyampaikan, perusahaan tambang harusnya dapat dikelola untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya orang luar yang datang mengekploitasi hasil alam yang ada di Maluku Utara khususnya di Halteng. “Kita minta melalui program-program CSR perusahaan dapat dikelola untuk ikut mendorong mutu pendidikan terutama pengembangan SDM,”ujarnya.

Sementara Bupati Halteng Ir. M Al Yasin Ali mengatakan, dengan kegiatan peletakan batu pertama pembangunan pabrik smelter PT. First Pacific Mining, dengan sendirinya akan memberikan dampak kemajuan investasi pertambangan dan juga pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Halteng. “Ini bisa mendorong mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan juga bisa mendorong akses lapangan pekerjaan masyarakat di perusahaan,”katanya. Bupati juga mengajak masyarakat agar bersama-sama pemerintah daerah mendukung setiap invetasi yang masuk di Halteng. (rid/kox)

Senin, 22 Desember 2014

Polairud Lepas Lima Kapal Ikan

TERNATE – Polairud Polda Malut, Minggu (21/12, merilis hasil penyelidikan atas 11 unit kapal nelayan yang ditangkap beberapa hari lalu karena diduga tidak memiliki izin saat melakukaan penangkapan ikan di perairan Malut.

Dir Polairud Polda, Kombes (Pol) Fauji Bakti Mochji mengungkapkan, dari 11 kapal yang ditangkap hanya enam kapal yang terbukti tidak memiliki surat izin penangkapan ikan di perairan Malut. Lima kapal nelayan yang menurut Dir Polairud memiliki izin, telah dilepas dan kembali beraktivitas seperti semula.
Kapal Nelayan Asing Yang di Tangkap di Kabupaten Halamhera Timur
Enam kapal nelayan yang terbukti tidak memiliki izin adalah, dua unit kapal yang tertangkap di perairan Halmahera Barat (Halbar), dua unit kapal yang tertangkap perairan Batang Dua dan dua unit kapal yang tertangkap di perairan Halmahera Timur (Haltim). “Pada dua kapal ilegal yang kami tangkap di Kaltim, terdapat 28 nelayan asing, empat orang di-antaranya dari Cina dan 24 orang dari Filipina. Untuk dua kapal ini kami geser ke Buli guna melakukan pemeriksaan lanjut,”jelasnya pada Malut Post, kemarin.

Sementara proses hukum atas empat kapal nelayan yang ditangkap di perairan Halbar dan Batang Dua, sudah dinaikkan dari status penyelidikan ke penyidikan. Penyidik Polairud telah menetapkan masing-masing nahkoda dari empat kapal tersebut sebagai tersangka. “Sudah ada empat tersangka. Sedangkan untuk dua kapal yang kami tangkap di Haltim masih dalam penyelidikan,”kata Dir Polairud. Lanjutnya, surat-surat milik nelayan asing telah diamankan pihak Imigrasi, termasuk dokumen kapal lainnya.(tr-02/lex)

Sumber : http://malutpost.co.id/2014/12/22/polairud-lepas-lima-kapal-ikan/

Sabtu, 20 Desember 2014

Ratusan IUP Ancam Pulau-Pulau Kecil

Pulau – Pulau Kecil menjadi perhatian utama, bukan saja karena kaya dengan keanekaragaman hayati, tapi keterancaman akibat eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara massif. Pulau seperti Aru, Halmahera, Mentawai, dan sebagian lagi harus menerima nasib dari pembangunan yang bias. Eksploitasi sumberdaya alam ini mengancam keselamatan masyarakat yang hidup di kepulauan termasuk masyarakat adat.

Rukka Sombolinggi, Deputi II Advokasi PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di temui tepisah, mengatakan, hak-hak masyarakat adat yang hidup di pulau-pulau kecil terus diabaikan, padahal mereka hidup dari ketersediaan sumberdaya alam yang ada. UU 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak ditegakan, akhirnya banyak pulau yang merupakan milik masyarakat adat menjadi arena industry ekstraktif  tidak terkontrol.
Disukusi Pulau-Pulau Kecil (Dok AMAN Malut)

“Ratusan izin pertambangan dan perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mengancam pulau-pulau kecil, lihat saja di Maluku Utara ada 335 izin tambang, sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mengontrol aktifitas pertambangan yang merusak pulau-pulau tersebut, padahal ada UU 27 tahun 2007 yang bisa digunakan untuk melindungi pulau-pulau ini” Ungkap Rukka

Rukka melanjutkan menteri KKP harus memberikan focus perhatian pada pulau-pulau kecil. Keberanian Susi Pudjiastuti sebagai menteri KKP untuk membom perahu nelayan asing yang ilegal ini harus juga ditunjukan dengan melakukan perlindungan pulau-pulau kecil yang terancam karena kegiatan pertambangan.

Sementara Mufti Fathul Barri dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, hasil analisis Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode tahun 2013-2014 menunjukkan bahwa 660 ribu ha atau 83% daratan di kepulauan Aru berupa hutan alam dari total 805 ribu ha luas daratannya. Hutan alam yang terdapat di Kepulauan Aru tersebar rata di seluruh 187 pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru. Kepulauan Aru sendiri merupakan sebuah wilayah yang sangat rentan akan dampak kerusakan lingkungan dan alam.

“Pembukaan hutan secara besar-besaran di Kepulauan Aru, akan menyebabkan banyak pulau-pulau kecil yang hilang dan tenggelam. Pembukaan hutan juga akan menyengsarakan masyarakat yang hidupnya tergantung kepada hutan dan sumber-sumber air,” jelas Mufti Barri, peneliti dari FWI menerangkan.


Konsolidasi penyelamatan pulau-pulau kecil menjadi agenda bersama yang disusun oleh AMAN, FWI,  #SaveAruIslands. Agenda aksi tersebut dilakukan pada tanggal 17 Desember 2014, bertempat di Hotel Grand Cemara, Jakarta. Beberapa LSM/Ormas seperti AMAN yang berada di pulau-pulau kecil juga di undang dalam kegiatan tersebut* (MK)

Kamis, 18 Desember 2014

Gubernur Larang Warga Ganggu Kawasan Hutan Aketayawi


“Lebih baik ambil material di tempat lain, karena kalau di kawasan hutan lindung itu, satu pohon bisa dihukum satu hari penjara apalagi sepuluh pohon maka bisa sepuluh hari atau lebih"

SOFIFI-PM, Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba memperingatkan masyarakat Oba dan sekitarnya untuk tidak merusak kawasan hutan taman nasional Aketayawi Kecamatan Oba Kota Tikep. Dalam melakukan pembangunan infrastruktur di Oba maupun lainnya.

“Jangan sekali-kali kalian (masyarakat) masuk ke kawasan itu (taman nasional Aketayawi) merusakan hutannya maupun mengambil material berupa batu dan pasir dia areal itu, kalau ada yang potong maka akan berimbas pada hukum karena kawasan tersebut dilindungi,” kata gubernur kepada masyarakat Oba saat melakukan batu pertama Masjid Baitussalam UPT SP 2 Tranas Kosa Sabtu (13/12).

Gubernur meminta masyarakat mengambil material bangunan diluar kawasan Aketayawi karena hutan tersebut lindungi. Apalagi, habitan taman Aketayawi seperti burung Nuri, Kakatua yang menjadi khas kita sudah mulai menghilang karena tidak mempunyai tempat berlindung.

“Lebih baik ambil material di tempat lain, karena kalau di kawasan hutan lindung itu, satu pohon bisa dihukum satu hari penjara apalagi sepuluh pohon maka bisa sepuluh hari atau lebih,” ucap gubernur.


Pada momentum tersebut, gubernur dan pimpinan SKPD Malut juga memberikan bantuan uang tunai kepada panitia pembangunan, dengan harapan pembangunan secepatnya dilakukan serta difungsikan sesuai peruntukan.

“Ini baru dana awal yang kita berikan, jadi saya bersama teman-teman SKPD yang hadir pada hari ini memberikan sebagai dana awal saja, semoga bangunannya cepat jadi,” harapnya. (Ajo)

Sumber :http://poskomalut.com/2014/12/15/gubernur-larang-warga-ganggu-kawasan-hutan-aketayawi/

Kisah Perempuan Kepala Suku Pagu Membela Hak Ulayat


JakartaCNN Indonesia -- Mia tonaka demia akele demia bongana, mabirahi de majojamanaaaniii, kao nyawa yoma sisanaaangi... (Tanah kami, air kami, hutan kami, cantik jelita hanya untuk kenikmatan dan kesenangan orang lain...)


Afrida Erna Ngato, pimpinan suku Pagu di Halmahera Utara, tengah bersyair dan menarikan Cakalele di halaman sebuah perusahaan tambang, akhir November 2012 silam. 
Ia diiringi oleh alunan nada dari instrumen musik tradisional Maluku, seperti gong, tifa dan lui-lui. 

Ida, begitu perempuan ini akrab disapa, dan ratusan masyarakat adat suku Pagu tengah menggelar aksi protes kepada perusahaan tambang, yakni PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). 

"Saat itu, saya datang ke sana menyatakan kedaulatan atas tanah. Kami bawa tujuh truk dan langsung kami duduki kantor PT NHM. Kami buat aksi damai, tidak ada orasi. Saya demo dengan pergelaran budaya," kata Ida kepada CNN Indonesia, Rabu petang (17/12).  

Ilustrasi Hutan Adat


Persoalan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) hak masyarakat adat di wilayah Maluku Utara memang seringkali terjadi. Pada akhir Oktober ini, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Maluku Utara mengadukan tiga kasus pelanggaran hak masyarakat adat di Maluku Utara untuk masuk Inkuiri Nasional Komnas HAM. 


Selain kasus suku Pagu dengan PT NHM, kasus pelanggaran hak masyarakat adat lainnya diantaranya PT WBN dengan Suku Sawai dan Tanam Nasional Aketajawe Lolobata dengan Suku Tobelo Dalam. 

Ketiga perusahaan tersebut dinilai telah melanggar HAM karena membatasi dan melarang masyarakat adat untuk mengakses hak-hak masyarakat adat atas wilayah hutan adat. 

Padahal, menurut keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 atas gugatan yang diajukan oleh AMAN, dijelaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Hutan adat merupakan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan wewenang negara dibatasi sejauh wewenang tercakup dalam hutan adat.

Ida kemudian mengatakan setelah sehari semalaman mereka menari dan bersenandung tiba-tiba sekelompok aparat kepolisian datang. Mereka membawa senjata dan mengenakan seragam lengkap. Ida mengatakan aparat menggunakan balok kayu memukul beberapa masyarakat adat.

"Binatang kalian. Kafir. Tidak pergi ke gereja!" ujar Ida menirukan umpatan kelompok aparat berseragam coklat tersebut. 

Sebanyak 32 masyarakat adat suku Pagu lantas dibawa ke Polisi Resor (Polres) Halmahera Utara. Aparat mulai menyita barang-barang milik masyarakat, termasuk telepon genggam milik Ida.

Kesal dengan sikap aparat yang langsung tangkap, Ida balik menggertak. Ia mengatakan kepada polisi bahwa dia akan menggunakan kuasa hukum untuk membela diri. 

"Teroris saja masih punya hak untuk punya kuasa hukum, apalagi saya? Saya bukan penjahat. Saya punya hak," ujar Ida mengutip pernyataannya saat itu.

Namun, tidak sampai sehari, Bupati Halmahera Utara datang dan memberikan jaminan. Ida dan puluhan masyarakat suku Pagupun dilepas. 

Ida mengatakan menggelar aksi kebudayaan di depan kantor PT HNM lantaran ajakan rembug tak kunjung disambut oleh pihak perusahaan. 

Ajakan rembug tersebut digulirkan sebab masyarakat suku Pagu hendak meminta hak mereka terhadap kawasan hutan cengkeh dan hutan damar di Gosowong Halmahera Utara yang diduduki PT NHM sejak 1997. 

Suku Pagu menuntut PT NHM untuk segera memberikan kompensasi kerugian yang dialami masayrakat adat Pagu terkait dengan lahan perkebunan seluas 50 hektar dan tempat yang dikeramatkan berupa kuburan tua para leluhur masyarakat adat Pagu.

"Jauh sebelum negara ada, kami sudah ada. Itu hutan adat, bukan hutan negara. Di sebelah utara bagian barat hutan kami berbatasan dengan Suku Madole. Di sebelah timur laut berbatasan dengan Suku Boeng. Di sebelah barat daya, Suku Sahu dan Suku Tobaru," katanya.

Ida bercerita, sukunya telah mendiami wilayah Halmahera Utara sejak abad 11. Terhitung hingga kini, sedikitnya 14 generasi sudah mendiami tanah tersebut. Kendati demikian, ia mengatakan kalau negara telah merampas hak ulayat masyarakat.

"Kami dibuat bingung dan identitas kami semakin hilang. Orang-orang takut membangun rumah di tanahnya sendiri," ujarnya. Menurutnya, Orang Pagu telah mengalami kekacauan akibat sikap negara. 

Pemerintah, katanya, menjual tanah dan kawasan di mana suku Pagu telah tinggal selama ratusan tahun kepada perusahaan. Mereka memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada PT NHM. 

Akibat adanya izin, Ida mengatakan perusahan lantas mengeksplorasi sumber daya alam dan mineral terkandung di tanah. "Setelah identitas diri dirusak, mereka merampas isi semua kekayaan," ujar dia. 

Pemetaan Wilayah Adat

Kini, Ida dan kelompok perempuan lainnya tengah memperjuangkan perbatasan wilayah adat. Mereka menginisiasi peta tapal batas wilayah adat tersebut.

"Sekarang peta wilayah adat sudah selesai dan akan diklarifikasi dengan wilayah suku tetangga. Kami akan bertemu dengan suku tetangga tanggal 7 Januari tahun depan," ucapnya.

Setelah peta rampung digarap, Ida mengatakan Bupati Halmahera Utara akan mengesahkan. Kendati demikian, perjuangan Ida dan kawan-kawannya masih panjang. 

Mereka harus menunggu pengesahan Rancangan Peraturan Daerah tentang hak-hak masyarakat adat Pagu. Peraturan tersebut tak kunjung disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebagai jalan tengah, kini pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat Pagu menandatangani nota kesepahaman. 

"Tapi jangan salah persepsi bahwa Suku Pagu berkompromi dengan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT NHM. Nota kesepahaman itu untuk pendokumentasian bahasa dan budaya Pagu untuk memperkuat identitas agar hak ulayat diakui," kata Ida.

Walau perjuangan Ida masih panjang, ia tak henti menyuarakan hak ulayat sukunya. Dia mengaku, hal tersebut merupakan panggilan hati atas kecintaanya pada tanah kelahiran. "Kalau bukan torang (kita) yang memulai, siapa lagi?" ujarnya mengakhiri cerita. 
(utd)
Sumber : http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141218231918-20-19208/kisah-perempuan-kepala-suku-pagu-membela-hak-ulayat/

Selasa, 16 Desember 2014

10 Izin Pertambangan Terancam Dicabut

LABUHA – PM, Sepuluh perusahaan pertambangan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi di Pulau Obi dan Mala-Mala, bakal dicabut pemeda Halmahera Selatan. Hal ini mengacu hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu di Maluku Utara, termasuk 56 IUP di Halsel.
Ilustrasi Pertambangan Nikel

KPK dalam surveinya itu menemukan kesepuluh perusahaan pertambangan tersebut selama ini belum membayar biaya reklamasi, laporannya tak pernah disampaikan ke pemda Halsel. Akibat tak adanya laporan ini, pemda Halsel menganggap data 10 persuahaan tak lengkap dan harus dicabut izinnya. Persuahaan ini

Kepala Bagian  Hukum Pemda Halsel, Ilham Abubakar ketika dikonfirmasi Posko Malut mengatakan, sejauh ini ia belum menerima daftar nama- nama perusahaan yang bakal dicabut Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben).
“Iya, sesuai hasi suverfisi KPK memang ada beberapa izin perusahaan tambang akan dicabut. Rata  rata persusahaan ini tidak membayar biaya reklamasi, tidak menyampaikan data dokumen perusahaan secara lengkap untuk diserahkan ke Pemda Halsel. Jadi akan secepatnya dicabut,”kata Ilham.
Meski begitu, ia belum bisa memastikan perusahaan mana saja yang akan dicabut, sebab dari Distamben sendiri belum menyerahkan daftar nama perusahan dimaksud. (Ris/er)

Sumber : http://poskomalut.com/2014/12/15/10-izin-pertambangan-terancam-dicabut/

Selasa, 09 Desember 2014

Pantau Hutan Adat dengan SMS


Dodaga- Sebagai rangkaian dari agenda monitoring hutan adat, AMAN Malut melatih masyarakat adat Tobelo Dalam untuk selalu tanggap menginformasikan peristiwa yang mereka hadapi di komunitas Tobelo Dalam Dodaga. Kegiatan itu diberi nama Jurnalisme Warga. Training ini dilakukan dari tanggal 6-7 Desember 2014, bertempat di Dusun Rai Tukur-Tukur, Desa Dodaga, Halmahera Timur.
Penjelasan fasilitator tentang tara cara mengirim pesan


Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut, menjelaskan bahwa, kegiatan training ini dilakukan karena berkaitan dengan monitoring hutan adat yang menjadi agenda AMAN dan suku Tobelo Dalam saat ini. Sehingga diharapkan masyarakat adat Tobelo Dalam bisa terlibat aktif melaluikan pemantauan wilayah adat mereka dan disampaikan kepada AMAN. 
 

Lebih jauh kata Munadi, saat ini kita melakukan pemantaaun hutan adat dengan SMS Gateway, namun itu bergantung pada konten yang disampaikan oleh masyarakat adat. Tidak terbatas pada komunitas adat Tobelo Dalam Dodaga, komunitas lain juga bisa mengirim konten yang berhubungan dengan konflik SDA, kerusakan hutan, penebangan liar, dampak perubahan iklim maupun kearifan lokal mereka.


Sementara fasilitator kegiatan Biro OKK AMAN Maluku Utara, Ubaidi Abdul Halim,“mengatakan saat ini masyarakat adat masih bergantung pada media mainstream untuk melaporkan keluhan mereka, sementara liputan media mainstream ini jarang menjangkau pelosok kampung dan isu-isu yang terjadi di komunitas, padahal di komunitas banyak persoalan yang menghantui hidup mereka.


Bisa dikata SMS Gateway ini media alternatif bagi masyarakat adat Tobelo Dalam yang sering berhadapan dengan masalah. Kedepan ketika terjadi masalah, masyarakat adat bisa langsung mengirim pesan ke 081217724099. Pesan yang disampaikan masyarakat itu akan ditindaklanjuti dengan disampaikan kepada pihak-pihak terkait. Misalnya kalau SMS itu berhubungan dengan Bupati Haltim, kami akan kirim pesan itu ke Bupati Haltim” Kata Ubaidi

Arnol Bobara, salah satu peserta dalam training ini mengatakan, training ini sangat bermanfaat. Mereka yang dulunya cuma tahu kirim pesan kepada teman dan sanak saudara mereka, kini bisa mengirim pesan dalam bentuk berita.Awal tadi saya merasa susah untuk kirim sms yang sudah jadi berita, tapi setelah coba-coba ternyata bisa buat sms dalam bentuk berita” ungkap Arnol. Diapun berjanji akan terus menyampaikan berita kepada AMAN terkait masalah yang dihadapi oleh komunitas mereka.


Ubaidi meminta masyarakat adat tidak harus kaku dengan tata cara membuat berita dalam bentuk 5W+1H. Cukup terdapat 1 unsur saja itu sudah bisa di kirim, nanti setelah itu baru tim AMAN akan berkomunikasi dengan pemberi informasi untuk mengembangkannya menjadi berita ***

Selasa, 02 Desember 2014

Kasiang; Kami Dilarang Bertani


DODAGA - Tanah, wilayah dan sumber daya alam merupakan alat produksi sebagai menyangga keberlanjutan hidup manusia. Mempertahankan hak-hak atas tanah dan warisan sejarah para leluhur merupakan modal semesta ketika membangun kesejahteraan sosial di komunitas adat. Komunitas adat dodaga membekali diri dengan pengetahuan local yang di warisi sebelum terbentuk organisasi Negara. Mengatur budi pekerti dan karakter building komunitas adat Tobelo Dalam Dodaga berpedoman pada hukum adat sebagai media untuk berkomunikasi dengan alam, manusia dan Tuhan.
Suku Tobelo Dalam (Dok AMAN Malut)

Alam semesta merupakan manifestasi dari Tuhan atas manusia untuk menjaga dan melindungi agar tidak menjadi bahaya untuk membangun peradaban dari masa ke masa. Setiap tahun tanah dan hutan di Halmahera mengalami penyusutan akibat laju pertumbuhan investasi. Sebagian besar hasil petanian petani di Maluku Utara kalah bersaing dengan petani seperti di Jawa, Sulawesi Utara dan daerah lain. Seperti halnya, suku Tobelo Dalam Dodaga yang rata-rata berprofesi sebagai petani, berburu dan meramu sebelum masuknya Taman Nasional dan Transmigrasi masuk menguasai wilayah adat mereka dan membuat akses mereka ke hutan terbatasi oleh kebijakan tersebut. Aktifitas berburu dan mencari makan di hutan perlahan-lahan terganggu. Membuka lahan kebun di dalam Taman Nasional dan Kawasan Hutan juga dilarang oleh pemerintah.
Rumah Tobelo Dalam program resettlemet (Dok AMAN Malut)

Sang fajar di pagi itu menunjukan hari sudah masuk tanggal 24 Novermber 2014. Kurang lebih pukul 09.00 Wit, tim Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang diketuai Kasmita Widodo bersama tim dari AMAN Malut, mengunjungi komunitas adat Dodaga untuk melakukan verifikasi dan registrasi wilayah adat. Tujuannya untuk memeriksa kelengkapan dokumen komunitas, baik profil, maupun peta wilayah adat yang dimiliki mereka. Hal serupa juga akan dilakukan di komunitas masyarakat adat lain yang jumlahnya 54 komunitas. Begitulah kira-kira keinginan yang disampaikan oleh kepala BRWA, saat masih berada di rumah AMAN Malut.

Perjalanan dari Ternate menuju Kota Sofifi dengan menggunakan speed boat sebagai angkutan transportasi laut yang menjadi langganan masyarakat Maluku Utara. Perjalanan itu ditempuh kurang dari 30 menit. Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara, juga sebagai terminal transit untuk melanjutkan perjalanan ke beberapa Kabupaten. Dari Sofifi, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil jenis avanza menuju Desa Dodaga di Halmahera Timur. Perjalanan diperkirakan bisa ditempuh dalam tiga jam lebih. Kita pun disuguhi panorama alam yang indah, mulai dari tenangnya air laut di teluk Kao, maupun pohon cengkeh milik para Petani yang tumbuh subur di sepanjang jalan menuju Dodaga.

Sesampainya disana kami menuju dusun Rai Tukur-Tukur, sebagai anak dusun dari Desa Dodaga. Dijemput dengan suka cita oleh masyarakat adat setempat, juga disuguhi sajian kopi hangat merek kapal api yang sudah diramu Kaka Feni, pemilik rumah yang menjadi tempat inap kami sementara waktu.

Masyarakat dusun kecil Rai Tukur-Tukur adalah Suku Tobelo Dalam ditempati kurang lebih 20 Kepala Keluarga (KK). Sebelumnya mereka hidup di hutan secara nomaden, namun sejak tahun 1985 pemerintah (Kemensos) mengeluarkan mereka dari hutan lewat program resettlemet.
Kegiatan verifikasi peta wilayah adat yang ditunggu pun dimulai pada malam hari itu juga, ketika para tokoh-tokoh adat kurang lebih 15 orang sudah hadir berkumpul bersama-sama tim BRWA dan AMAN.

 Petani Suku Tobelo Dalam Dodaga
Kasmita Widodo membuka peta dan menjelaskan tumpang tindih hutan adat dengan kawasan hutan versi kementerian Kehutanan. Dari luas wilayah adat Dodaga 27.710.98 Ha, sebagian ditetapkan pemerintah menjadi Areal Pengunaan Lain (APL) 8056.406 Ha, Hutan Lindung (HL) 5951.642, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 8134.122 Ha, Hutan Produksi Tetap (HP) 1657.313 Ha, Hutan Produksi yang dapat di koversi (HPK) 139.696 Ha, Kawasan Suaka Alam/kawasan Pelestarian Alam (KPA) 2680.653 Ha.

Metode untuk mengidentifikasi ketikdasesuain selama pemetaan berlangsung dengan menghadirkan pemangku masyarakat adat guna mencengah kesalapahaman yang mungkin terjadi. Juga memberikan kesempatan kepada masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga untuk mengajukan keberatan dan bukti yang mendukungnya” Kata Widodo melanjutkan percakapan dalam ruang itu bersama tetua dari Dodaga.

Mendapat respon dari Kasianga Tojou, ketika mendengar penjelasan rencana verifikasi dan registrasi wilayah adat, lalu masalah yang sering dihadapi masyarakat adat. Bagi bapak Kasiang mewakili masyarakat adat Tobelo Dalam Dodaga, mengatakan sejak masuknya Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, mereka mulai sulit mengakses hutan adat yang selama ini menunjang kehidupan sehari-hari. Mereka sering dilarang oleh polisi hutan untuk mencari makanan, mengambil obat di dalam hutan adat mereka, “kami dilarang untuk membuka lahan kebun, mengambil sayur di dalam wilayah adat yang sudah dikuasai Taman Nasional,” tuturnya.

Respon positif terhadap rencana ini muncul juga dari tokoh adat yang lain, ”masyarakat sangat berterima kasih kepada BRWA dan AMAN sudah memfasilitasi proses pemetaan ini dan verifikasi peta wilayah adat Tobelo Dalam Dodaga. Apalagi hari ini ada komunitas lain yang hadir untuk membicarakan batas wilayah adat Dodaga. Ini sangat berguna bagi kami, untuk menunjukan kami ada” ungkap Pendeta Elieser, salah satu tokoh agama dari Dodaga.

Verifikasi wilayah adat terus berlanjut, masyarakat adat pun aktif memberikan keterangan yang berhubungan dengan wilayah adat, kelembagaan maupun kesepakatan antara mereka dengan komunitas lain. Banyak juga cerita yang diungkapkan oleh mereka terhadap rencana-rencana pemerintah untuk menjarah hutan adat menjadi hutan negara. Mereka lebih percaya hutan adat ini akan terjaga dengan baik, kalau dikelola langsung oleh masyarakat adat. Verifikasi pun berakhir dengan rencana untuk terus menjaga wilayah adatnya yang sudah dipetakan.***** Ubaidi Abdul Halim