Minggu, 28 September 2014

47 IUP DI MALUKU UTARA LANGGAR INPRES MORATORIUM



Ternate – Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 dan Inpres Nomor 6 Tahun 2013 Presiden untuk melakukan Penundaan Pemberian Izin Baru (PPIB) atau lebih dikenal Moratorium Izin Penggunaan Kawasan Hutan untuk memperbaiki Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut tidak berjalan. Banyak kebijakan pemberian izin Kepala Daerah melanggar Inpres tersebut.

AMAN Maluku Utara mencatat, dari 335 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terdapat di Maluku Utara, ada 47 izin yang keluar Per-2011 dan 2012 berada dalam kawasan moratorium. 25 izin tambang di Halmahera, 14 diantaranya berada di Pulau Gebe yang total semua wilayah konsesinya berada dalam kawasan moratorium. Sementara 5 di Halmahera Selatan, 5 di Halmahera Barat, 9 di Halmahera Timur, dan 3 di Kota Tidore Kepulauan hanya sebagian dari wilayah konsesinya yang tumpan tindih dengan kawasan moratorium. Dari jumlah tersebut, 12 izin sudah melakukan kegiatan eksploitasi sementara 35 masih melakukan kegiatan eksplorasi. Total luas wilayah yang dikonversikan untuk kegiatan tambang ini sebesar 32,572 hektar.

Data : Tabel Perusahan yang ada di wilayah Moratorium
No
Kabupaten/Kota
Tahapan
Tahun Izin
Luas Yang Masuk Dalam Wilayah Moratorium
Eksplorasi
Eksploitasi
1
Halmahera Selatan
5
-
2011
5478 Ha
2.
Halmahera Tengah
19
6
2011-2012
13188 Ha
3
Tidore Kepulauan
3
-
2012
605 Ha
4
Halmahera Timur
3
6
2011-2012
9553 Ha
5
Halmahera Barat
5
-
2011
3748 Ha
  ( Sumber: Analisis Peta PPIB dan Peta Izin Tambang di Malut)

Kebijakan pemberian izin tambang yang dilakukan oleh Kepala Daerah saat Inpres dikeluarkan menunjukan ketidakseriusan mereka pada rencana yang dilakukan dalam rangka memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut yang menjadi agenda Presiden sampai tahun 2015. Dalam proses pemberian izin ini juga terindikasi ada praktek korupsi yang melibatkan Kementerian Kehutanan dalam mengeluarkan izin pinjam pakai untuk kegiatan tambang terutama yang sudah melakukan kegiatan eksploitasi. 

Kami sangat menyayangkan hal ini, harusnya Bupati dan Walikota serta Menteri Kehutanan yang dengan sengaja tidak menjalankan Inpres tersebut diberikan sanksi hukum. “Presiden harus memerintahkan kepada penegak hukum untuk memberikan sanksi hukum bagi bawahannya dan Kepala Daerah yang tidak taat pada Instruksinya” Tegas Albert Ngingi, Kepala UKP3 AMAN Maluku Utara.

Pemberian izin tambang skala masif ini menunjukan tidak ada keperpihakan pemerintah pada lingkungan dan masyarakat adat yang hidup bergantung pada alam. Apalagi wilayah – wilayah konsesi itu telah mencakup wilayah adat. Tambang terus dijadikan sebagai sektor unggulan dalam pembangunan daerah, padahal harus di hitung daya dukung wilayah Maluku Utara sebagai pulau – pulau kecil, yang rentan dengan masalah perubahan iklim, dan bencana alam, sehingga izin ini nanti akan memberikan dampak yang berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat adat dan ekosistem di wilayah ini.

AMAN juga mendesak kepada Kepala Daerah untuk mencabut kembali izin – izin perusahan tersebut dan menyusun rancangan program tata kelola hutan dan lahan gambut di Maluku Utara. *(Tim AMAN)

Kamis, 18 September 2014

AL YASIN ALI dan Kelapa Sawit di Patani; Pala Cengkeh Terancam..!!


Tulisan ini semata-mata untuk membandingkan sikap seorang Bupati Halmahera Tengah Ir. Al Yasin Ali yang bersebarang dengan sikap ribuan masyarakatnya sendiri yang berada di Desa Banemo, Bobane Raya, Bobane Indah, Pantura Jaya, Masure, Palo, Peniti, Nusrifah dan Sakam, dalam hal investasi perusahan sawit PT Manggala Rimba Sejahtera di Patani.

Perkebunan Kelapa Sawit dan Dampaknya

Seperti yang ramai diberitakan oleh media lokal dan nasional, Halmahera Tengah adalah salah satu lokasi masuknya perkebunan sawit. Walaupun masih dalam proses perizinan, perusahan sawit tersebut dipastikan akan segera berinvestasi atas restu baik dari Bupati Halmahera Tengah, Gubernur Maluku Utara dan Menteri Kehutanan. 

PT Manggala Rimba Sejahtera dengan luas konsesi 11.870 hektar, akan melakukan investasi di Kecamatan Patani Barat dan Patani Utara, Halmahera Tengah. Investasi padat modal ini berada dilokasi yang topografi wilayahnya dominan pegunungan serta daratan yang terbilang kecil. Namun atas kehendak penguasa, ketidaklayakan tersebut dipaksakan harus menjadi layak, walaupun nantinya akan memberi dampak buruk bagi masa depan masyarakat adat setempat.

Perusahan sawit dalam berbagai catatan akan memberikan dampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia dan alam sekitarnya. Di berbagai tempat perusahan perkebunan sawit selalu mendatangkan masalah mulai dari, (a) penyerobotan tanah penduduk; (b) tergusurnya plasma nuftah dan budaya-budaya lokal; (c) persaingan dengan sumber-sumber pangan lokal; (d) pengurasan air tanah; (e) pemanasan global karena pelepasan gas-gas rumah kaca; khususnya gas karbon mono-oksida; (e) eksploitasi buruh, khususnya buruh perempuan; (f) konflik/kriminalisasi kepada warga, (Baca: Dampak Perusahan Sawit).

Konflik dan kriminalisasi warga senantiasa terjadi di wilayah dimana perusahan sawit berinvestasi, contoh konkrit kasus warga Gane Dalam dengan PT Gelora Mandiri Membangun (GMM). 13 warga Gane Dalam harus mendekam di penjara karena berjuang mempertahankan tanah ulayatnya (Baca: Advokasi Walhi Malut). Untuk memperluas ekspansinya, perusahan perkebunan kelapa sawit akan menyeroboti tanah ulayat yang sudah dikelola masyarakat adat sejak turun – temurun, termasuk yang sudah ditanami Pala dan Cengkeh oleh masyarakat adat Patani juga akan menjadi sasarannya nanti.

Perusahan sawit banyak mendapat kritik karena berkotribusi pada peningkatan pemanasan global dan perubahan iklim. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran untuk efesiensi biaya dan waktu. Hutan yang menjadi suporting kehidupan manusia dan ekosistem di dalamnya akan punah. Pohon Pala dan Cengkeh yang telah dirawat ratusan tahun lamanya dan menjadi sumber utama ekonomi masyarakat adat Patani yang berada di beberapa di 9 desa tersebut akan ditebang habis demi memperluas ekspansinya. 

Selalu saja muncul dalil yang dibuat pemerintah dibalik kejahatan pembangunan ini adalah demi untuk peningkatan kesejahteran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dengan logika memberi ruang sebesar – besarnya kepada investor banyak mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam sebagai kunci utama peningkatan taraf hidup masyarakat. Mana mungkin masyarakat adat Patani bisa sejahtera kalau kehilangan hak atas tanah dan tidak bisa mengakses sumberdaya alam termasuk hasil perkebunan mereka. Pembangunan seperti yang dibuat oleh Al Yasin Ali ini justru menciptakan kesenjangan sosial dan kemiskinan baru di Patani. Masalah demi masalah akan muncul dikemudian hari jika PT Manggala Rimba Sejahtera dipaksakan untuk masuk berinvestasi.

Warga Menolak, Bupati Memaksa

Seyogyanya masyarakat mendapat informasi dalam bentuk konsultasi secara langsung atas rencana Bupati memberikan izin kepada PT Manggala Rimba Sejahtera. Konsultasi itu harus menggunakan prinsip Free and Prior Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan namun fakta ini tak ditemukan dilapangan. Kenapa demikian? sebab masyarakat adalah penerima dampak lingkungan dan kehilangan hak atas tanah, wilayah dan SDA atas kebijakan tersebut. Namun fakta tersebut tidak ditemukan dilapangan. Masyarakat tidak memperoleh konsultasi dan sosialisasi sama sekali, bahkan secara tiba – tiba tim dari Kemenhut datang dan memasang patok di dalam areal perkebunan warga, (Baca: Investigasi AMAN). 

Lewat Kadis Kehutanan Halteng Wahab Samad, bahwa”Walaupun masyarakat menolak, investasi ini akan tetap beroperasi di Patani” (Baca: Malut Post 09 Agustus 2014). Beredar rekaman wawancara, Bupati tidak mau diperkarakan di pengadilan, karena itu investasi ini akan tetap masuk. Sikap kedua orang ini berbeda dengan sikap masyarakat adat Patani yang berada di Desa Banemo, Bobane Raya, Bobane Indah, Pantura Jaya, Masure, Palo, Peniti, Nusrifah dan Sakam. Ribuan warga dengan tegas menolak yang dilakukan dengan cara pemasangan plang hutan adat, tanda tangan surat penolakan, termasuk juga demonstrasi baik di kantor camat, dan pemerintah daerah. Jika tidak ada langkah untuk mencabut kembali izin perusahan tersebut, Bupati justru mementingkan keselamatan dirinya dari pada keselamatan masyarakatnya. Kebijakan Bupati telah menciptakan instabilitasi dalam kehidupan masyarakat adat setempat.

Penolakan masyarakat terhadap investasi tersebut memiliki alasan yang mendasar. Ratusan tahun lamanya mereka hidup dengan kekayaan alam yang tersedia di wilayah tersebut. Hutan mereka di tumbuhi oleh puluhan ribu pohon Pala ‘Hutan’ dan pohon Cengkeh. Mereka membangun hidupnya dari turun – temurun dari hasil Pala dan Cengkeh. Pala dan Cengkehlah banyak orang Patani yang sukses dimana – mana, dari situpula mereka bisa menunaikan ibadah haji setiap tahun, untuk kebutuhan makan sehari – hari dan membangun hidupnya menjadi lebih baik. 

Pala dan Cengkeh Terancam Kelapa Sawit

Pala dan Cengkeh memiliki cerita tersendiri di Republik ini dan tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme bercokol ratusan tahun lamanya di tanah air. Termasuk Pala dan Cengkeh yang terancam digusur oleh PT Manggala Rimba Sejahtera untuk digantikan dengan kelapa sawit.
Patani merupakan salah satu daerah penghasil Pala terbesar di Maluku Utara, dari situ juga pulau ini mendapat julukan kepulauan rempah – rempah. Sebagai identitas, komoditi berharga ini menjadi penunjang utama kebutuhan hidup masyarakat adat Patani. Sayangnya bukannya dilindungi dan dijaga, justru sebaliknya mau digantikan dengan pohon sawit dengan alasan untuk peningkatan kesejahteran masyarakat. Padahal jika dihitung secara ekonomis, petani Pala memiliki pendapatan diatas rata-rata 10 juta untuk sekali panen selama 3 bulan. Beda pendapatnya untuk menjadi buruh atau petani plasma di perusahan. Justru pendapatan untuk setiap tenaga kerja (buruh) di perusahan lebih kecil. 

Kebijakan yang rakus SDA dan mendatangkan banyak masalah pada masyarakat ini justru di idam-idamkan. Selain izin sawit, Halteng juga mengoleksi 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP), nomor 2 terbanyak setelah Kepulauan Sula yang mengoleksi 99 IUP. Ironi pembangunan masa kini yang harus kita hadapi.

Pala dan Cengkeh yang merupakan kepunyaan rakyat harus dipertaruhkan nasibnya karena kepentingan negara dan korporasi yang selalu berbeda. Ketika kita berharap potensi hasil bumi ini menjadi unggulan dalam sektor pembangunan, pemerintah malah mengunggulkan tambang dan sawit. Kepentingan investor diupayakan berjalan tanpa masalah, walaupun kemudian mereka harus mengabaikan kebutuhan rakyat. Itulah nasib yang harus diterima puluhan ribu pohon Pala dan Cengkeh di Patani ketika Al Yasin Ali menghendaki PT Manggala Rimba Sejahtera beroperasi. Kebijakan Bupati ini akan membuat Pala dan Cengkeh hanya ada dalam memori cerita masa lalu (*)   
Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut

Rabu, 17 September 2014

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM MASYARAKAT ADAT HOANA GURA DAN PAGU



Global Warming atau pemanasan global saat ini merupakan isu penting yang menjadi perhatian seluruh masyarakat dimuka bumi. Pemanasan global memberi banyak dampak negatif terhadap kehidupan mahkluk hidup dimuka bumi terlebih kepada manusia. Dampak yang terjadi seperti perubahan iklim secara drastis yang menyebabkan mencairnya es di kutub. Ini merupakan ancaman bagi ribuan bahkan jutaan orang yang tinggal dan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena naiknya permukaan air laut. Selain itu perubahan iklim berdampak juga terhadap perubahan cuaca yang berakibat semakin sulitnya petani tradisional dalam memprediksi cuaca untuk musim tanam ataupun nelayan untuk musim tangkap ikan.

Bagoaha, kearifan lokal masyarakat adat di pulau Kumo
Masyarakat adat adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim tersebut.  Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas mereka berhubungan langsung dengan alam. Alam telah menjadi salah satu bagian penting dari semua aktivitas yang dilakukan.  Masyarakat adat juga sebenarnya memiliki bentuk-bentuk kearifan lokal yang biasa digunakan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan alam. Kearifan-kearifan lokal ini merupakan hasil pengamatan secara terus-menerus terhadap alam sekitarnya yang kemudian dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Hoana Gura dan Pagu merupakan dua komunitas yang ada di pulau Halmahera diantara sekian banyak komunitas adat yang masih mempraktekan kearifan-kearifan lokal tersebut. Karena berada pada satu daratan, bentuk-bentuk kearifan lokal mereka sebagian besar masih sama, hanya beberapa yang spesifik sesuai karakter wilayah masing-masing.

Kearifan Lokal Masyarakat
    Memprediksi Musim
Dalam memprediksi musim khususnya musim angin yang akan berpengaruh besar pada musim tanam serta musim melaut masyarakat Hoana Gura memiliki cara tersendiri. Mereka biasanya melihat posisi awan yang ada di puncak gunung api. Bila awan berbentuk garis lurus telah menutupi puncak gunung api maka itu pertanda akan ada angin besar atau pergantian musim. Kebiasaan ini biasa dikenal dengan Mangele.
Seorang Ibu sementara mencari kerang di daerah padang lamun, Pulau Kumo
Ini juga sering digunakan untuk memprediksi musim melaut dan jenis ikan yang akan ditangkap. Untuk musim tanam padi, masyarakat hoana Gura dan Pagu memiliki penanggalan yang hampir sama. Musim tanam jatuh pada bulan Oktober - November dan waktu panen pada bulan Maret - Juni. Indikasi dimulainya musim tanam dilihat dari mulainya musim hujan pada bulan-bulan tersebut. Untuk penanggalan musim angin berdasarkan kalender musim Hoana Gura, angin barat bertiup pada bulan Desember - Mei, angin utara bertiup di bulan Juni – Juli, angin selatan bertiup di bulan Agustus - September dan angin Timur bertiup di bulan Oktober – November sedangkan berdasarkan penanggalan Suku Pagu, angin barat bertiup pada bulan Desember – Januari, angin timur bertiup pada bulan Februari – April, angin utara bertiup pada bulan Mei – Juni.

b.      Nanaku 

Menanam Mangrove untuk mencegah abrasi
Dalam melihat perubahan musim, masyarakat Pagu dan Gura juga sering menggunakan cara menandai/mengingat kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu dan sering berulang. Masyarakat mengenalnya dengan “Nanaku”. Nanaku digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan datang berdasarkan pengalaman yang lalu dengan melihat tanda-tanda tertentu yang terjadi pada alam ataupun perubahan perilaku hewan. Misalnya di masyarakat Gura, bila musim angin selatan akan tiba, ditandai dengan adanya migrasi jenis burung Korehara ke wilayah mangrove di pulau Kumo . Jenis burung ini terbang dari wilayah bagian selatan. Ini menjadi tanda akan terjadinya perubahan musim angin, karena burung tersebut hanya terlihat pada waktu tertentu saja, biasanya awal musim angin selatan.  Kemudian ada juga jenis burung Luo-Luo yang bermigrasi ke wilayah pulau Kumo dan Kakara pada saat akan tibanya musim Ikan Lompa karena ikan lompa merupakan makanan burung ini.  Selain itu, perilaku hewan yang sering diamati untuk melihat perubahan alam yakni suara burung Maleo. Burung ini bersuara pada saat air surut dan juga pasang. Maleo masih menjadi penanda perubahan naik-turunnya air laut yang masih digunakan oleh masyarakat Hoana Gura dan Pagu.  

c.       Kearifan Mengelola Alam
Masyarakat Hoana Gura dan Pagu sebenarnya telah memiliki bentuk-bentuk kearifan dalam mengelola alam. Kearifan ini berhubungan dengan aktifitas keseharian masyarakat dalam mengambil hasil alam baik itu hasil di darat maupun hasil laut. Ada beberapa bentuk kearifan lokal yang masih mirip antara Hoana Gura dengan Pagu.
Masyarakat Hoana Gura mengenal dan masih mempraktekan beberapa bentuk kearifan lokal khususnya dalam pengelolaan hasil laut. 

1.     Bagoaha; adalah Aktivitas mencari kerang, ikan  dan hasil laut lain. Dilakukan pada saat air surut baik siang ataupun malam, menggunakan parang, saloi (bakul), dodofa (alat tikam). Aktivitas ini pada pagi-sore pada saat air surut. Kearifan ini dilakukan bila terjadi musim angin sehingga masyarakat tak  bisa melaut.

2.   Tototaka ; Batobo (berendam di laut dengan air sebatas pinggang) kemudian menangkap ikan. Caranya, melangkah maju, kemudian air di buat keruh, kemudian mundur kembali sekitar 7 depa (sekitar 3 – 4 meter kebelakang), umpan dilepas ditempat air yang keruh tadi. Cara ini digunakan pada saat musim ombak dan dilakukan di sekitar pulau. 

3.    Bahidobongo : Mencari ikan di malam hari, saat air surut besar (air meti besar). Menggunakan lampu ataupun obor, keranjang, parang dan tombak (hohoba). Pencarian dilakukan pada air sebatas betis.
4.      Bahilo  : Mencari hasil laut (ikan, kerang dll) menggunakan perahu dan lampu. Dilakukan oleh 2 orang ( 1 orang bertugas menjadi operator perahu dan yang 1 memegang tombak untuk menikam ikan). Biasanya dilakukan pada musim teduh disekitar pulau. 

5.   Taugumi : Aktivitas masyarakat banyak (sekitar 25 – 30 orang) untuk menangkap ikan di sekitar pulau Kakara. Menggunakan tali nilon dan daun kelapa. Cara penangkapannya, daun kelapa dipasangkan pada tali nilon dan di benamkan dalam air sampai menyerupai pagar dalam air. Ikan yang telah ada dalam lingkaran kemudian digiring ke daerah yang airnya dangkal. Setelah itu ikan yang telah terperangkap kemudian ditangkap menggunakan parang ataupun tombak. (aktivitas ini sudah tak lagi dilakukan karena biasanya masyarakat menggunakan racun sehingga ikut merusak karang).
6.      Sasi : merupakan bentuk pelarangan pengambilan hasil alam sampai pada batas waktu tertentu yang ditentukan. Saat ini Sasi telah dilakukan secara gereja atau dikenal dengan istilah Sasi Gereja.

Kondisi bawah laut di Pulau Kumo
Untuk masyarakat Pagu juga memiliki bentuk kearifan dalam mengelola alam yang masih mirip dengan masyarakat di Hoana Gura diantaranya :
1.      Tolak Bala ; adalah bentuk ritual yang dilakukan sebelum pembukaan lahan untuk kebun masyarakat. Biasanya dilakukan pada lahan yang baru pertama dibuka dari hutan. 

2.      Bugo; adalah bentuk larangan mengambil hasil alam yang ditandai dengan daun, batang tanaman ataupun tanda tertentu. Bugo biasanya dilakukan dengan menggunakan mantra-mantra tertentu yang berakibat sanksi dari leluhur terhadap orang yang melanggar

3.      Bubugol; hampir mirip dengan proses Bugo namun yang membedakannya adalah bentuk sanksinya. Sanksi untuk Bubugol berupa sanksi yang langsung diberikan oleh dewan adat atau ketua adat kepada orang yang melanggar. 

4.      Sasi; mirip dengan proses sasi gereja di Hoana Gura

Pemanfaatan Mangrove
Bagi masyarakat Hoana Gura, Mangrove atau lebih dikenal dengan Soki memiliki arti penting bagi kehidupan mereka yang ada di pulau-pulau kecil. Mangrove atau Soki memiliki fungsi sebagai lapisan pengaman pulau dari terpaan ombak, tempat pemijahan bibit ikan, habitat burung dan biota laut seperti bia (kerang) dan Kepiting. Selain fungsi habitat, soki juga sering dijadikan sebagai obat tradional bagi masyarakat yang tinggal disekitar pesisir pantai. 

Abrasi yang terjadi dalam 10 tahun terakhir telah membuat masyarakat Hoana Gura benar-benar menjaga fungsi Soki ini. Di pulau Kumo, telah dilakukan pembibitan kurang lebih 10.000 anakan Soki dari beberapa jenis untuk ditanam ditempat-tempat yang rawan abrasi. Selain itupun mereka telah mengidentifikasi jenis dan kegunaan Soki yang ada di wilayah mereka. 

Jenis
Ciri Pembeda
Kegunaan
Populasi
Soki-soki
1.Daun : agak panjang
2. Akar : tergantung
3. Warna batang pohon agak menghitam
4. Bentuk kulit batang pohon  ada retakan-retakan kecil
5. Buahnya berbentuk panjang (40 cm), berwarna hijau tua
6. Warna bunga coklat
7. Daerah tumbuhnya di wilayahnya yang berawa
1. Batang : Kayu Bakar dan alat rumah
2. Buah : sebagai bibit tanaman baru
3. Akar : bahan mainan anak-anak
Dominan dari jenis yang lain
Posi – posi
1.   Daun : bulat
2.  Akar : berbentuk seperti jarum yang tumbuh ke atas
3.  Warna batang pohon coklat berbintik putih
4.  Bentuk kulit batang utuh, tak ada retakan
5.  Buahnya berbentuk bulat lonjong, berwarna hijau muda
6.  Warna buah  hijau
7.   Susah dibudidayakan
8.   Daerah tumbuhnya di wilayah yang pasirnya lebih dominan
1.     Batang : kayu bakar
2.     Kulit batang : obat tradisional (demam dll)
3.     Akar : biasanya dibuat mainan anak
4.     Buah : dibuat mainan anak-anak (gasing)
5. Cabangnya biasanya di ambil untuk dijadikan tempat pengasapan kopra karena kuat
Lebih sedikit dari Soki-soki








Menurut warga Hoana Gura dan Pagu, dalam 10 tahun terakhir musim sudah sangat sulit untuk diprediksi. Misalnya saja, untuk awal musim hujan yang biasanya jatuh di bulan Oktober mulai bergeser ke bulan November sampai Januari. Kalau pun ada di bulan Oktober, pasti intensitas hujannya kecil. Untuk musim hujan dan panas juga sudah tak terbagi rata, biasanya per 6 bulan sekali. Tapi sekarang sudah acak. Musim yang diprediksi sudah bergeser. Ini juga yang memberikan dampak bagi bagi masyarakat Hoana Gura dan Pagu terhadap kelender musim mereka.

Menanam Magrove menyambut perubahan iklim
Dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi bencana di dua wilayah tersebut. Di Hoana Gura diperhadapkan dengan bahaya abrasi yang mengikis wilayah pulau Kumo, Kakara dan Tagalaya. Ini menyebabkan air laut masuk sampai ke kebun warga bahkan sampai dekat dengan pemukiman warga. Biasanya hal tersebut terjadi pada musim-musim tertentu saja. Ini berdampak juga terhadap kelangkaan air bersih di pulau Kakara.

Untuk wilayah Pagu, bencana yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah kebakaran hutan dan banjir. Kebakaran hutan terjadi dikarenakan musim panas yang panjang dan tak seperti biasanya. Rumput alang-alang yang kering sangat rentan terhadap api dan kemudian akan menjurus ke kebakarn hutan dan kebun-kebun warga. Selain itu dalam lima tahun terakhir terjadi banjir besar disalah satu kampung masyarakat Pagu. Hujan yang turun dengan intensitas yang tinggi mengakibatkan sungai meluap hingga ke pemukiman warga. 

Dalam mengantisipasi hal-hal tersebut masyarakat di Hoana Gura dan Pagu telah melakukan langkah-langkah adaptasi seperti penanaman mangrove di pulau Kumo, identifikasi jenis mangrove, pendokumentasian kearifan lokal mengelola alam serta kalender musim. Untuk masyarakat Pagu sendiri telah melakukan pemetaan partisipatif untuk wilayah adat mereka serta mengkonsilidasikan kelembagaan adat. Selain itu, kearifan-kearifan lokal yang diuraikan diatas tetap dipraktekan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan alam yang terjadi. #abe

Editor : Ubaidi Abdul Halim