Selasa, 26 Agustus 2014

AMAN Malut Rapat Pengurus Wilayah I

TERNATE-PM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut, Sabtu (23/08) menggelar rapat Pengurus Wilayah (RPW I) di Hotel Bukit Pelangi, dengan tema “Perkuat Organisasi Menjawab Tuntutan Gerakan Masyarakat Adat di Malut.” RPW ini juga sekaligus mengevaluasi kinerja AMAN Malut selama satu tahun, oleh dewan adat, Jois Duan/Namotemo (Ketua Dewan AMAN Maluku Utara), Machyoedhien Rumata (Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Maluku Utara), Jesaya Banari (Anggota Dewan AMAN Maluku Utara, Robinson Misi (Anggota Dewan AMAN Maluku Utara) dan Doraino Hohare (Anggota Dewan AMAN Maluku Utara).

Ketua AMAN Malut, Munadi Kilkoda dalam jumpa pers mengatakan dari hasil evaluasi kinerja selama satu tahun melahirkan rekomendadasi bersama pengurus dan dewan AMAN yang besifat internal dan eksternal. Untuk internal membentuk pengurus daerah AMAN di semua kabupaten/kota, kecuali Ternate.  Melakukan rekrutmen anggota baru di komunitas masyarakat adat yang belum menjadi anggota AMAN, dan beberapa rekondasi lainnya. ’’Tujuannya memperkuat hubungan bersaudaraan dalam mempertahan adat yang dimiliki masing-masing komunitas,”katanya.

Sementara eksternal mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Malut untuk menginisiasi pembuatan peraturan daerah tentang pengakuan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Malut, mengupayakan regulasi yang dibuat harus berpihak pada masyarakat adat dan mengkritik kebijakan pembangunan yang berdampak pada kehidupan masyarakat adat Malut.
“Rata-rata pemerintah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten belum membuat peraturan daerah terkait dengan masyarkat adat, kecuali Halut sudah membuatnya yakni Perda tentang Pengakuan Tanah dan Tanah Adat di Wilayah Lingkar Tambang,”ungkapnya.

Ia menambahkan, ke depan juga membangun kepercayaan pada generasi muda masyarakat adat untuk bangga dengan identitas sebagai masyarakat adat.  Serta mengkampanyekan hukum adat dan kearifan lokal yang hudup di masyarakat adat sebagai sistem yang harus dihormati dan dipraktekkan dalam kehidupan sosial masyarakat.(mg-01/el)

Sumber : http://poskomalut.com/2014/08/25/aman-malut-rapat-pengurus-wilayah-i/

Rabu, 20 Agustus 2014

 Domain Rakyat versus Negara
“Kemerdekaan atas Tanah dan Air”


Oleh:
Ubaidi Abdul Halim
Kepala Biro OKK AMAN Malut


Semenjak masuknya undang-undang desa, hak-hak masyarakat adat perlahan-lahan hilang. Sistem dan tata cara pengakuan tentang tanah dan wilayah adat diubah sesuai dengan selera rezim. Kebijakan ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya di hutan. Tanah-tanah masyarakat adat di Pulau Halmahera bukan hak berian dari negara tapi merupakan hak “bawaan” sejak lahir berdasarkan sejarah asal-usul masyarakat adat yang menempati wilayah tertentu, dan tanah sebenarnya adalah warisan para leluhur yang hidup jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, regulasi-regulasi sektoral muncul di sana-sini, tujuannya adalah mengurangi kewenangan sistem kelembagaan adat yang dibangun sejak ribuan tahun yang lalu. Kepala-kepala adat pun mengurus hal-hal yang tidak substansial seperti perkawinan dan acara sunatan, sementara tanah, hutan dan sumberdaya lainnya diserahkan kepada negara. Dari sini drama perampasan dan penyerobotan hak-hak masyarakat adat terjadi.


Hasil obsevasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara di beberapa komunitas masyarakat adat, menunjukkan bahwa istilah sertifikat tanah sebagai bukti hukum adanya hak-hak atas tanah tidak dikenal di kalangan masyarakat adat. Pengakuan tentang kepemilikan tanah hanya berdasarkan sejarah asal-usul. Soal batas-batas wilayah adat yang mereka kenal adalah mental map (peta mental) biasanya batas wilayah adat itu, simbol yang digunakan adalah alam ,misalnya batas sungai, batu besar, pohon-pohon besar, gunung, bukit dan tanjung.

Tambang dan Sawit Ibarat Monster

Kebijakan pemerintah terkait 335  izin usaha pertambangan (data Kementerian ESDM) di luar dua kontrak karya yaitu PT. Weda Bay Nickel dan PT. Nusa Halmahera Minerals di Pulau Halmahera seperti menebar racun. Pengelolaan nikel dan sumber daya alam lainnya di Pulau Halmahera ibarat “monster kerkepala sembilan”. Monster legendaris yang diceritakan di dalam mithologi Yunani kuno. Monster berkepala sembilan yang merupakan satu dari sembilan kepala adalah abadi, sedangkan delapan kepala lainnya akan menumbuhkan dua kepala baru jika dipotong. Seperti itulah, kisah izin investasi sumberdaya alam di Maluku Utara, jika dicabut satu maka akan tumbuh subur di daerah lain.

Kebijakan pengelolaan pun justru sangat menggelisahkan serta menuai kecaman aktivis dan penggiat lingkungan di  Maluku Utara. Sejumlah perencanaan telah disusun untuk pembangunan industri estraktif berskala besar mulai dari pembagunan smelter, reboisasi, jaminan reklamasi sampai program “suap” seperti dana sosial responsibility (CSR). Eksploitasi sumberdaya alam dipastikan akan menimbulkan konflik sosial di mana-mana, mulai dari masalah sengketa tanah antara perusahaan dengan masyarakat adat/lokal, krisis air bersih, kerawanan pangan, masalah lingkungan, kesehatan, pendidikan, adat dan budaya serta peralihan profesi warga menjadi buruh pabrik perusahaan tambang maupun pabrik perkebunan kelapa sawit.

Sumber-sumber produksi masyarakat menjadi sarana kontestasi antara pemerintah, pengusaha termasuk masyarakat adat. Di sana akan tercipta ruang-ruang pertarungan dan perundingan baru, siapa yang kuat akan menang dan siapa yang lemah akan kalah. Merebut sumber produksi tidaklah dilakukan dengan cara imperialisme baru dengan menggunakan agresi militer, cukup menakuti mereka dengan undang-undang dan  mempengaruhi pikiran serta menyogok para bandit-bandit itu. Biasanya dalam pertarungan ini, dimenangkan oleh pengusaha dan lagi-lagi masyarakat adat dikorbankan. Jika masyarakat adat melakukan protes maka mereka dianggap anti pembangunan dan mengganggu alat fital negara. Tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adat akan dicaplok dan disulap menjadi tandus serta akan menghilangkan sumber-sumber produksi agraria yang berimplikasi buruk pada hancurnya wilayah produksi masyarakat.Masyarakat adat diakui di dalamnya.

Beberapa hari ini PT. Manggala Rimba Sejahtera, sala satu perusahaan perkebunan sawit mewarnai halaman-halaman media massa lokal. Protes dan penolakan perkebunan sawit mengalir dan datang dengan sendirinya dari warga dengan tujuan investasi kelapa sawit segera ditanggapi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah atau bahkan dicabut izin investasinya karena sangat mengganggu sumber produksi masyarakat seperti pala, cengkih dan kopra.

Dugaan sementara Wakil Bupati memancing “monster” itu, untuk datang ke Patani. Penetapan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan sekitar 11.870 hektar Kawasan Hutan Produksi (KHP) di Kabupaten Halmahera Tengah tepatnya di Patani Timur, untuk perkebunan kelapa sawit atas nama PT. Rimba Manggala Sejahtera  tidak melalui proses sosial yang melibatkan masyarakat adat. Jika Pemerintah daerah menengok kembali Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 18B dan 28I) dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 terhadap Undang-Undang Kehutanan No.40 tahun 1999.  Maka semua masyarakat adat Patani akan selamat dari bencana buasnya “monster” ini, karena sewaktu-waktu  akan mengeluarkan racun dan menghisap darah daging rakyat.

Tapi pada tanggal 22 Februari 2014 lalu Wakil Bupati Halteng Soksi Hi. Ahmad justru mengorganisir camat dan beberapa kepala desa bertemu dengan Direktur PT.Manggala Rimba Sejahtera. Mereka dipaksa untuk menyetujui kehadiran perusahaan. Sementara fakta di lapangan banyak masyarakat adat yang menolak keberadaan perusahan, seperti diberitakan sebuah media lokal.

Saat lahan pala, cengke dan kelapa dikonversikan menjadi perkebunan sawit monokultur, masyarakat adat akan kehilangan hak serta sumberdaya alam di dalamnya sebagai menyumbang  90% pendapatan masyarakat adat Patani. Selama ini, kehidupan mereka bergantung pada pala, cengkih dan kopra. Perkebunan sawit sering dipromosikan dan ditawarkan sebagai solusi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Menurut banyak orang perkebunan sawit justru akan melahirkan masalah sosial dan lingkungan.

Perusahan sawit membutuhkan lahan yang luas dan air yang banyak untuk mendapatkan keutungan lebih besar. Perusahaan akan berjanji setelah izin selesai tanah ini akan dikembalikan kepada pemilik lahan. Sesunguhnya saat perusahaan mengatakan akan mengembalikan tanah kepada warga yang dimiliki, tapi yang dimaksud adalah tanah akan kembali kepada negara bukan kepada masyarakat adat (lihat film Sawit “Suara dari Perkebunan Sawit”) “jangan dibeking”Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan semua pemerintah kabupaten harus belajar dari Provinsi Kalimantan dan Sumatera atas dampak perusahaan tambang dan perkebunan sawit di wilayah adat mereka. Pemerintah daerah jangan lagi membujuk  masyarakat untuk menerima kebohongan ini dan menjanjikan serta menawarkan jaminan pekerjaan justru pemerintah harus memberikan informasi  kepada masyarakat secara utuh tentang rencana kejahatan perusahaan, yang masuk di wilayah-wilayah adat. Menolak perkebunan sawit dan perusahaan tambang adalah keputusan terbaik untuk menyelamatkan kampung anda dan masa depan anak cucu kita. Semoga. (*)

Sumber : http://poskomalut.com/2014/08/20/domain-rakyat-versus-negara/

Minggu, 17 Agustus 2014

Tercemar Limbah, Warga Menderita Benjol-benjol

HALMAHERA, KOMPAS.com – Belasan warga di Desa Balisosang, Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, dilaporkan menderita penyakit aneh. Diduga, penyakit aneh ini akibat dari tercemarnya air laut di Teluk Kao dan Sungai Kobok oleh limbah salah satu perusahan tambang.

Kepala Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Masri Anwar, melalui keterangan tertulisnya menyampaikan, sudah 13 orang terindentifikasi penyakit aneh ini. Penyakit aneh ini berupa benjolan pada bagian tubuh tertentu, disertai gatal-gatal.

“Penyakit tersebut hampir menjalar ke separuh dari tubuh mereka. Warga mengatakan, penyakit ini di derita karena mereka mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao dan mengambil kerang dari Sungai Kobok . Mereka juga sering menggunakan air Sungai Kobok dan Ake Tabobo, padahal sungai tersebut diduga sudah tercemar oleh limbah perusahan. Kami juga memperkirakan penderita penyakit seperti ini lebih dari 13 orang dan akan terus meningkat," ungkap Masri, Rabu (11/12/2013).

Sarah Robo, salah warga Balisosang, kepada AMAN Malut, mengatakan mulai menderita penyakit benjol–benjol sejak 2012. Dia mengaku menderita penyakit aneh ini karena sering mengkonsumsi air dari sungai Kobok.

Ironisnya, Saraha ternyata baru mengetahui bahwa sungai tersebut sudah tercemar setelah mendapat sosialisasi dari pihak perusahaan tersebut pada 2013. Kegelisan warga setempat terus berlanjut karena tidak bisa berbuat apa-apa. Warga tetap nekad mengkonsumsi ikan yang didapat dari perairan Kao Teluk lantaran tidak ada cara lain untuk memperoleh ikan untuk dikonsumsi.

AMAN Malut memprediksikan sekitar 5.000 jiwa masyarakat adat Pagu (lokal) yang berada di lingkar tambang perusahaan tambang tersebut bakal mengalami masalah gangguan kesehatan dikemudian hari. Hal ini akibat pipa limbah perusahaan sering jebol, sehingga limbahnya mengalir ke Sungai Kobok dan terus mengalir hingga ke perairan teluk Kao.

Bagi AMAN Malut, teluk Kao yang tercemar limbah bukan hal baru. AMAN juga menyebutkan, Penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2010 menemukan beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya sudah terkontaminasi oleh bahan berbahaya seperti Sianida dan Merkuri. Kandungan Sianida yang masuk ke tubuh ikan kakap merah, belanak, dan udang yang tertangkap di tanjung Taolas dan tanjung Akesone sudah melebihi ambang batas aman.

“Yakni berkisar 1,52 ppms – 4,5 ppm WHO (2004), sehingga sangat membahayakan jika di konsumsi,” tulis AMAN dalam rilisnya.

Rilis itu juga menyebutkan, warga desa Balisosang yang berkebun di seputaran sungai Kobok, pun mengaku air sungai Kobok sudah tidak bisa digunakan lagi untuk kebutuhan air minum maupun mandi. Mereka terpaksa harus membawa air dari perkampungan bila hendak bepergian di kebun selama berhari–hari.

Pemerintah diminta segera mengambil langkah berupa tidak lagi melanjutkan ijin Kontrak Karya perusahaan tambang tersebut karena banyak mendatangkan masalah bagi warga sekitar tambang.

Sumber :http://regional.kompas.com/read/2013/12/11/0718408/Tercemar.Limbah.Warga.Menderita.Benjol-benjol

AMAN: Masyarakat Adat di Ternate Kehilangan Hutannya

 
KBR68H, Ternate - “Kita melakukan plangisasi di wilayah masyarakat hukum adat di Halmahera Utara dan melakukan sosialisasi. Tetapi Dinas Kehutanan di sana malah mengatakan, UU tersebut tidak berlaku di Halmahera Utara. Ini kan aneh bin ajaib. Harusnya mereka menyambut baik,” begitu kata perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Ternate, Maluku Utara, Ubaidi Abdul Halim.

Menurutnya, masih banyak hutan adat yang belum dikembalikan kepada masyarakat adat. Padahal UU-nya sudah ada dan berlaku. Jika diterapkan dengan baik, menurut Ubaidi, putusan MK soal UU Kehutanan tersebut bahkan bakal mampu menetralisir dan membatasi ruang konflik di masa depan.

Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat. Hal penting dari putusan tersebut adalah hutan adat dikeluarkan dari status kawasan hutan negara. Di masa mendatang, hutan adat dikategorikan sebagai hutan hak, sama seperti hutan milik perseorangan ataupun badan hukum.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, selama ini hampir 50 komunitas adat di Maluku Utara kesulitan mendapatkan haknya mengelola sumberdaya alam. Masyarakat adat di Maluku Utara selalu berhadapan dengan pengelola izin tambang, jasa perhotelan dan wisata yang dikeluarkan pemerintah. Hidup dan kehidupan mereka makin terpinggirkan. 

Setelah putusan MK yang memberi hak kepada masyarakat adat mengelola hutannya, ternyata belum berbuah banyak. Kementerian Kehutanan (Kemenhut), kata Ubaid, masih belum memihak masyarakat adat. Penyebabnya karena kementerian tak gamblang dan tegas memerintahkan pemda untuk menerapkan aturan pasca putusan MK itu.

“Dalam UU Kehutanan, masyarakat adat dianggap sebagai tamu negara. Kesannya dikriminalisasikan. Padahal masyarakat adat yang mempelopori kemerdekaan. Setelah putusan MK No.35/2012 yang memisahkan hutan masyarakat adat dan hutan negara, tetap saja masyarakat adat tersingkirkan,” ujar Ubaidi.

Negara harusnya sadar bahwa masyarakat ada punya hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam di Indonesia. Sayangnya, meskipun UU ada, pemda seakan enggan mensosialisasikan peraturan tersebut.

“Banyak yang harus dilakukan oleh masyarakat adat. Salah satunya wajib mengidentifikasi diri bahwa masyarakat adat ada. Masyarakat juga perlu melakukan plangisasi dan pemetaan wilayah adat, yang kemudian ditunjukan kepada negara,” kata Ubaid.

Dirjen Kepulauan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Kementterian Kelautan dan Perikanan  (KKP) Sudirman Saad mengklaim kementerian sudah mengakui jelas dan tegas pengelolaan pesisir maupun hutan yang menjadi milik masyarakat adat, dikelola dan dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat adat diberi legitimasi untuk mengelola dan memberikan izin bagi siapapun yang ingin mengambil manfaat dari hutan atau wilayah pesisir laut mereka.

“Dalam UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir sudah terang benderang memberikan pengakuan hak eksistensial kepada masyrakat adat terkait hak wilayah mereka, bukan lagi pengakuan atas pemberian negara. Setelah putusan kami pun berkoordiunasi dengan aman.”

Menurut Sudirman, masyarakat adat maupun aliansi, di masa datang harus terus berkordinasi dan bergandengan tangan dengan pemerintah, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk melakukan pemetaan wilayah adat yang ada di Indonesia.

Sumber :http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/3229411_4215.html

Editor: Fuad Bakhtiar

Mia Siscawati : Perlu Adanya Perda Untuk Masyarakat Adat.

Syarifuddin Paturusi - Ternate, Malut , Minggu, 25 Agustus, 2013

Ternate – Masyarakat Tobelo Dalam dari komunitas Bai dan Ake Sangaji di Taman Nasional Aketajawe Lolobata terbatas untuk mengakses kebun mereka sebagai ruang hidup. Selain itu, suku tersebut juga butuh penguatan atas hak mereka lewat Peraturan Daerah (Perda) untuk diakui hak-hak mereka.

Hal Tersebut terungkap saat Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (BPH AMAN) Maluku Utara (Malut) melakukan dialog interaktif di disalah satu Station Radio di Kota Ternate, Kamis (22/8) lalu.

dari kiri ke kanan Radwan Mia Siscawati Ari Subiantoro Ubaidi Abdul Halim dan Faris Bobero duduk di depan dari ke empat o Mia Siscawati :  Perlu Adanya Perda Untuk Masyarakat Adat.Hadir sebagai narasumber dalam dialog tersebut yakni, Mia Siscawati dari Sajogyo Institute dan Pengajar Pasca Sarjana Antropologi Universitas Indonesia,  kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata Ari Subiantoro, Kepala biro OKK Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara Ubaidi Abdul Halim, dan Pendamping Suku Tobelo yang juga pegiat pers Faris Bobero



Dalam dialog tersebut, Mia Siscawati menyampaikan, penderitaan Masyarakat adat Tobelo pedalaman ini, sangat panjang, mulai dari zaman perseteruan wilayah kesultan Ternate dan Tidore, sampai pada pemerintah orde baru yang memberikan label suku terasing, “tapi situasi saat ini berbeda, Suku Tobelo pedalaman,  hak-haknya di akui oleh UUD 1945. Hak ruang hidup teritori yang luas untuk berburuh dan mencari makan tidak boleh ada batasan,  ada juga hak lain misalnya, hak memperoleh pendidikan dan kesehatan. Namun, saat ini, masih ada juga masyarakat Adat Tobelo pedalaman yang dilema  karena tekanan dan situasi akibat  keberadaan tambang di taman nasional dan lainnya,” kata Mia. “Olehnya itu, perlu adanya Perda masyarakat adat untuk di ketahui hak-hak masyarakat adat,” tambahnya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Ari Subiantoro mengatakan, sebenarnya Suku Tobelo pedalaman di Taman Nasional Aketajawe Lolobata sangat dekat dengan petugas Balai Taman Nasional. Bahkan, ruang hidup mereka tidak dibatasi “Petugas Taman Nasional tidak membatasi. Malahan Suku Tobelo pedalaman yang menebang pohon untuk membuat rumah pun tidak kami larang,” kata Ari.
(@arief/tim)

Limbah Tambang PT Tekindo Energy Cemari Tambak Warga

Add caption
Jakarta, EnergiToday--Penampungan limbah perusahaan tambang, PT Tekindo Energy, jebol mengakibatkan tanaman gagal panen dan ikan-ikan di kolam maupun tambak warga pun mati. Hal ini diungkapkan oleh salah satu warga Desa Kobe Kulo yang merasa dirugikan oleh insiden ini.



Munadi Kilkoda,  Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, mendesak Bupati Halmahera Tengah segera mencabut segera izin pertambangan nikel PT Tekindo Energy di Desa Kobe. Menurutnya, perusahaan memberikan dampak negatif bagi masyarakat sejak kegiatan eksploitasi di tahun 2009. Wilayah adat mereka seluas 3.890 hektar menjadi konsesi perusahaan. Bahkan, hutan adat dan gunung yang tak jauh dari pemukiman penduduk sudah digunduli.

AMAN memperkirakan, sekitar 2000 penduduk kehilangan mata pencaharian akibat dampak yang ditimbulkan dari limbah tambang tersebut. (Nimas/MON)
Menurut Melkyanus Lalatang, warga Desa Kobe Kulo megatakan, pada 6-7 September 2013 ,di Desa Kobe Kulo, terjadi banjir. Bersamaan dengan itu, penampungan limbah perusahaan jebol dan mengalir ke pemukiman penduduk, kebun warga sampai kolam ikan.

Sumber :http://www.energitoday.com/2013/10/03/limbah-tambang-pt-tekindo-energy-cemari-tambak-warga/

Tambang Nikel di Maluku Utara Gusur Suku Adat Sawai

November 1, 2013 @ 7:00 am

Jakarta, EnergiToday--Dampak ekspansi tambang masih terus merugikan keberadaan masyarakat adat yang hidup di sekitar wilayah pertambangan. Dalam sebuah laporan yang disusun oleh Shelley Marshall, Samantha Balaton-Chrimes dan Omar Pidani menyoroti kasus penguasaan wilayah adat Suku Sawai dan Tobelo Dalam di Maluku Utara oleh PT Weda Bay Nickel.

Laporan ini menyebutkan, bahwa hingga saat ini warga dari kedua suku tersebut belum diberikan hak atas konsultasi atau hak atas persetujuan penggunaan lahan terlebih dahulu secara sungguh-sungguh, tanpa paksaan dan disertai penyediaan informasi yang cukup (free, prior, informed, consent) sebagaimana diwajibkan dalam standar Hak Asasi Manusia internasional dan standar IFC.

Izin konsesi PT Weda Bay Nickel ini menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah merampas tanah 154 Kepala Keluarga Suku Sawai yang berada di dekat wilayah pertambangan. Suku Sawai juga kehilangan akses terhadap lahan, hutan dan kehilangan mata pencaharian mereka. Setidaknya lima komunitas masyarakat pesisir yang terpaksa kehilangan mata pencaharian mereka akibat hilangnya tanah mereka, tiga diantaranya berada langsung di wilayah konsesi: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gemaf. Masing-masing desa tersebut dihuni sekitar 300 kepala keluarga.

Proyek yang merupakan bagian dari Bank Dunia ini bernilai sekitar 500 juta dollar Amerika Serikat. Kandungan nikel yang terdapat di perut bumi di wilayah ini diperkirakan mencapai 7 juta ton dan akan bisa dieksplorasi selama 50 tahun. Selain kandungan tersebut, wilayah ini juga masih menyimpan sekitar 500 juta ton. (Nimas/MON)

Sumber http://www.energitoday.com/2013/11/01/tambang-nikel-gusur-suku-adat-sawai/

Selasa, 05 Agustus 2014

Gunung Dukono Semburkan Debu



TOBELO-Aktifitas gunung Dukono, Tobelo sepekan ini terus terjadi. Ini terlihat dengan adanya letusan disertai debu vulkanik, sehingga Kota Tobelo diselimuti debu tebal. Tiga desa di Tobelo Tengah seperti Gorua, Popilo dan Ruko masuk rawan abu vulkanik sehingga masyarakat  tdak bisa keluar rumah. ”Gara-gara debu, kami tidak bisa keluar rumah. Meski  begitu BPBD tidak pernah membagikan masker,”keluh Agus Salim tokoh pemuda desa Gorua.


Gunung dukono semburkan abu fulkanik
Pantauan Koran ini, Gunung Dukono, mengalami aktifitas letusan hingga mengeluarkan debu vulkanik dengan gumpalan asap cukup tebal setiap hari. Kuswarno, Petugas Pemantauan Gunung Dukono, di Desa Mamuya Galela yang dihubungi malam tadi mengatakan, letusan itu terjadi karena turunnya hujan yang menggenangi lubang kawah gunung. “Aktifitas ini dipicu hujan. Kawah kemasukan air akhirnya timbul reaksi letusan, jadi mungkin ada faktor air hujan,” terang Kuswarno.

Menurutnya,    rata-rata sehari 5 kali letusan, ada letusan debu kecil, sedang, sampai kuat. Namun kuatnya itu hanya pada suara gemuruh. “Kalau Selasa (17/6) ketinggian debu sekitar 1500 meter dari permukaan kawah, dan jatuh di Desa Gorua. Hari ini (Rabu kemarin pagi,red) di sekitar Mamuya, namun sore tadi (kemarin,red) karena angin ke arah Timur maka jatuh ke Tobelo, dengan ketinggian debu 2000 meter,”jelas Kuswarno. Sementara status   masih waspada level II. Dia mengaku, terus melakukan komunikasi rutin dengan pihak terkait, seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halut. Terkait letusan ini, yang mungkin memberikan upaya tanggap erupsi seperti pembagian masker pada masyarakat umum. “Himbauan kami masyarakat menjaga sumber airnya dengan menutup sumur agar tidak terkontaminasi debu gunung, begitu juga menggunakan masker saat di luar rumah,” harapnya. Kepala BPBD Hernefer Djandua dikonfirmasi menuturkan, sudah mengeluarkan himbauan  pada Camat hingga kepala desa soal abu vulkanik dari Gunung Dukono. Meski begitu masih tetap mempersiapkan masker untuk kebutuhan masyarakat.  ”Saat ini masker sudah disiapkan, tetapi belum dibagikan, nanti melihat kondisi, ditakutkan diberikan, justru terjadi letusan lebih besar maka masker bisa habis,” jelasnya. (sam/ici)

Sumber :http://malutpost.co.id/2014/06/19/gunung-dukono-semburkan-debu/