Rabu, 31 Juli 2013

AMAN Maluku Utara Buka Posko Peduli Bencana Ambon



TERNATE,MPe -- Hujan deras yang mengguyur Kota Ambon dan sekitarnya seminggu terakhir mengakibatkan korban jiwa dan harta benda. Mulai selasa (30/7) pagi di Ambon, akibat banjir, ratusan rumah, perkantran, sekolah dan tempat peribadatan jiga terendam banjir.

Bencana tersebut kemudian menjadi sorotan masyarakat baik dari pusat maupun daerah termasuk Maluku Utara (Malut). Kalangan aktivis Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Malut di Ternate, Rabu (31/7) melihat hal itu, langsung bertindak membuat Posko Peduli Bencana Ambon bertempat di Rumah AMAN Malut, di Jalan Cempaka No 623, Kelurahan Maliaro (Depan RSUD Chasan Boesoerie), Kota Ternate.

”Kawasan yang mengalami kerusakan parah di Ambon adalah kawasan Batu Merah, Batu Gajah, Batu Meja, Jalan Baru, Ahuru, Talake, dan kawasan lainnya di Kota Ambon,Maluku, ” Kata Ketua Posko Peduli Banjir, Manchyoedhien Rumata ketika di Temui Mata Publik.

Manchyoedhien yang biasa di sapa Yudi menjelaskan, banjir tidak hanya merusak rumah–rumah warga, namun juga menghanyutkan harta benda milik warga. Sejumlah mobil, sepeda motor dan becak bahkan terlihat hanyut di beberapa kawasan seperti di Batu Merah dan Ponegoro, Skip hingga belakang Soya. Fasilitas publik seperti sekolah, perkantoran dan fasilitas umum tak luput dari terjangan banjir.

Data yang di Himpun AMAN Malut melalui AMAN Maluku, sementara 30 warga meninggal dunia, tujuh hilang dan puluhan warga lainnya mengalami luka–luka. ”Pasca banjir yang menerjang sebagian besar wilayah Kota Ambon, warga yang mengungsi kini mulai kekurangan bahan makanan, selimut, serta obat-obatan, ” terang Yudi.

sementara itu, para pegungsi untuk sementara menempati sejumlah fasilitas umum, seperti sekolah, dan tempat ibadah di dataran tinggi. Kondisi mereka sangat memprihatinkan, karena harus tidur beralaskan karpet tanpa selimut.

”Teman-teman AMAN Maluku menginformasikan pada kami, bahwa warga yang tinggal di lokasi pengungsian mengaku mulai kesulitan bahan makanan bahkan, anak-anak mereka terancam putus sekolah. Seluruh keperluan sekolah seperti seragam, buku, sepatu, dan alat tulis ludes terseret arus banjir, bersama seluruh harta benda. Mengenaskan, rumah mereka juga ikut terseret banjir. Sampai saat ini belum juga ada bantuan dari pemerintah setempat,”katanya.

Olehnya itu AMAN Malut mengajak teman-teman LSM dan beberapa organisasi lainnya di Kota Ternate untuk turut menggalang bantuan untuk korban banjir di Ambon. ”Untuk mengurangi beban saudara-saudara kita di Ambon-Maluku. Bagi bapak/ibu yang memiliki kelebihan rezeki dapat menyalurkannya bantuan melalui Rumah AMAN Maluku Utara, Jl. Cempaka, No. 623, Kelurahan Maliaro (Depan RSUD Chasan Boesoerie), Kota Ternate atau Nomor Rekening: 150-0010043014, A.n Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Bank Mandiri Cabang Ternate,” ujar Yudi.
Masyarakat yang ingin menyalurkan bantuan bisa menghubungi hemphone 081341118284 Macyoedhien Rumata (Ketua Posko) dan 082188700772 atas nama Ubaidi Abdul Halim. (ays)

Minggu, 28 Juli 2013

CATATAN PERJALANAN KE TOBELO DALAM

“Hutan Adat Tobelo Dalam dikuasai Taman Nasional dan Tambang”
Ditulis oleh : Munadi Kilkoda (Ketua BPH AMAN Malut)

Malam itu tepat tanggal 19 Juli 2012, sekitar pukul 23.00 Wit, saya beserta dua orang teman melakukan perjalanan bersama KM. Nur Abadi. Kapal yang melintasi laut Halmahera ini menempuh perjalanan dari Tobelo menuju Buli namun menyingahi beberapa pelabuhan, salah satunya pelabuhan Patlean. Di pelabuhan inilah kami harus turun menggantikan transportasi lain untuk menuju Desa Pumlanga dan Dusun Walaino. Jarak tempuh dari Tobelo ke Patlean sekitar 7 jam.

Pemukiman Dusun Walaino Desa Pumlanga Kec.Maba Utara
Desa Pumlanga dan Dusun Walaino berada di kecamatan Maba Utara yang beribukota Doro Sagu, Halmahera Timur. Jumlah penduduk berkisar 700-an jiwa. Akses transportasi darat ke wilayah ini sangat sulit. Jalan yang menghubungkan dengan Ibukota Kabupaten atau wilayah lain belum tersambung. Akhirnya transportasi lautlah yang menjadi andalan masyarakat untuk mengakses ke wilayah – wilayah lain. Namun transportasi laut hanya melayani 2 kali dalam seminggu. 
Sebagai orang yang baru pernah melintasi wilayah tersebut,  tentu harus banyak bertanya biar tidak salah jalan. Malam itu ada beberapa penumpang kapal yang memberikan gambaran kepada kami untuk sampai ke tempat tujuan.
Perjalanan malam dengan kapal laut itu sungguh memberikan kenyaman hati. Malam itu terasa lengkap, ditemani angin sepoi-sepoi, gelombang-gelombang kecil di tengah laut Halmahera bahkan musik dandut tempo dulu. Kalau tidak salah, penyanyinya Arafiq. Ya..begitulah hiburan untuk menhilangkan kesunyian malam.

Setelah berselang beberapa jam, kapten kapal menyampaikan pesan lewat pengeras suara kalu kapal sudah berada di tengah laut depan Desa Patlean. Kapal tersebut hanya membuang jangkar di tengah laut lepas. Tidak ada jembatan tempat dimana seharusnya kapal tersebut bersandar. Motor laut yang menawarkan jasa angkutan mulai bersandar di bodi kapal. Tinggal kita memilih yang mana harus digunakan. Harga perorang dari kapal ke kampung Rp. 20.000. Terlihat banyak penumpang yang juga turun bersama – sama kami.

Hari masih pagi, sekitar pukul 06.00 Wit, kami pun tiba di Desa Patlean dan harus melanjutkan perjalanan ke Desa Pumlanga  dengan menggunakan motor laut carteran. Jarak tempuhnya sekitar 30 menit. Desa tersebut berada di bibir pantai, karena itu memiliki potensi pasir besi yang luar biasa besar. Informasi dari warga, ada rencana perusahan tambang mengeksploitasi kandungan pasir besi di wilayah tersebut dan pemukiman akan dipindahkan. Namun belum tau kapan akan dimulai. 

Alamnya terlihat sangat indah. Deretan tebing yang menjulang tinggi di bibir pantai, juga pasir hitam yang membentuk jalan raya sehingga kendaraan motor darat bebas berkeliaran sesuka mereka. Laut terlihat tenang, hanya sesekali terlihat ombak dilaut yang berjalan dengan tertib. Menurut keterangan beberapa warga Pumlanga yang kami temui, musim angin kali ini adalah musim selatan, sehingga laut masih tenang. Beda kalau musim angin timur, laut pasti memberontak. Bahkan nelayan pasti kesulitan untuk melaut kalu tiba musim timur. Nelayan harus berpindah mencari ikan di sungai, sebagian berburu rusa maupun babi. Ini bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat. Musim timur biasanya terjadi selama 3 bulan.

Kami harus istirahat sejenak di Rumah Kepala Desa dan siangnya melanjutkan perjalanan ke Dusun Walaino, tempat tinggalnya Suku Tobelo Dalam. Dusun dengan jumlah penduduk 300-an jiwa itu berada di tengah hutan yang jaraknya sekitar 9 kilo dari Desa Pumlanga. Untuk mencapai wilayah tersebut, harus menggunakan jasa motor ojek. Bahkan juga harus melintasi dua sungai besar dengan rakit yang dibuat oleh masyarakat yakni sungai Pumlanga dan sungai Akelamo. Jika musim hujan lebat, orang pasti takut melintasi sungai tersebut sebab banjir pasti terjadi. Air biasanya meluap ke pemukiman penduduk. Tahun 2007, Dusun Walaino terkena banjir besar karena meluapnya air di sungai Akelamo. Bahkan tempat tinggal mereka yang dibuat oleh pemerintah rusak parah, akhirnya saat ini orang Tobelo Dalam memilih membangun rumah sendiri di tempat yang lebih tinggi untuk menghindari banjir. Rumah yang dibangun itupun bahannya dari sisa – sisa kayu dan seng bekas dari rumah yang terkena banjir. Sebagian justru membangun rumah yang tak berdinding, atapnya juga dari daun rumbia. Disitulah mereka menjadi kan tempat tidur dan membangun hidup.  

Orang Tobelo Dalam atau yang disebut Ohongana Manyawa pada umumnya sudah beragama kristen. Mereka juga bisa berbahasa melayu Ternate, namun sebagiannya belum fasih menggunakan bahasa tersebut, sehingga dalam komunikasi sehari – hari harus dengan bahasa suku yakni Tobelo. Mereka juga sudah bisa beradaptasi dengan penduduk lain. Padahal dulu, seringkali terjadi konflik antara mereka dengan penduduk yang ada di pesisir, bahkan bisa saling membunuh. 

Menurut hasil survei Burung Indonesia, Suku Tobelo Dalam ini titik penyebarannya sekitar 19 titik, baik di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan. Mereka hidup di kawasan hutan dari turun – temurun. Sejak dulu leluhur telah menitipkan tanah dan hutan untuk keberlanjutan hidup mereka. Namun saat ini hutan yang mereka tempati masuk sebagai Taman Nasional Aketajawe - Lolobata, Konsesi Perusahan Tambang, Perkebunan Sawit, HPH dan transmigrasi. Akhirnya mereka terpinggirkan.

Kami disambut dan diarahkan untuk ke rumahnya kepala Dusun. Disitu pulalah tempat pertemuan untuk membahas agenda yang akan kami lakukan. Satu demi satu masyarakat Tobelo Dalam berdatangan, kelihatannya pemimpin – pemimpin mereka di kampung ini. Obrolan pun dimulai, beberapa rencana program yang akan kami lakukan disampaikan oleh saya. Mulai dari program Community Center maupun pemetaan wilayah adat. Mereka sangat mendukung rencana yang akan dilakukan. Bahkan siap untuk memetakan wilayah adat, serta menghibahkan sekintal tanah untuk pembangunan Comminity Center.

Obrolan itu terus berlanjut, sebagian mereka mengemukakan masalah saat ini terkait dengan penguasaan hutan adat oleh Taman Nasional. Bahkan tak jauh dari tempat tinggal mereka ada areal transmigrasi dari Jawa dan NTT, belum lagi ada rencana eksploitasi nikel salah satu perusahan tambang di  wilayah tersebut. Mereka mulai merasakan kesulitan dengan kebijakan negara ini. Akses mereka terhadap hutan terbatasi oleh penetapan status hutan dan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal ketergantungan hidup mereka ada pada hutan. Hutan bagi komunitas Tobelo Dalam merupakan kehidupan dan tempat tinggal leluhur mereka.


Ketika kami menyampaikan ada keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Hutan Adat, mereka sangat antusias merespon keputusan tersebut. Bagi mereka sudah waktunya memetakan wilayah adat termasuk hutan adat mereka yang sekian tahun dikuasai pihak lain. Hutan ini harus berada dalam kuasa orang Tobelo Dalam demi menyiapkan masa depan anak – cucu mereka. (Munadi Kilkoda)

Jumat, 26 Juli 2013

Konspirasi Negara dan Pemodal Tentang Liberalisasi Sektor Agraria Banyak Memicu Konflik di Maluku Utara.

Dialog Publik yang di gagas oleh Pengurus Himpunan Mahasiswa Taliabu (HMT) Kota Ternate pada tanggal 25 Juni 2013,dengan tema : Hak-Hak Masyarakat Adat : Konsep, Permasalahan dan Rekomendasi. Dengan menghadirkan narasumber: La Hamsein, S,Si Kepala Kanwil Badan Pertahan (BPN) Provinsi Malut, Munadi Kilkoda Ketua BPH AMAN Maluku Utara, Dr. Saiful Ahmad Angota DPRD Provinsi Maluku Utara dan Pemerhati Masyarakat Adat Rusman Patiwael, SH

Kebijakan hukum di Republik ini, bersifat diskriminatif, tragis dan mengkhawatirkan. karena terjadinya tumpang tindih Undang-Undang. Ada UU yang mengakui hak-hak masyarakat hukum adat dan ada pula yang tidak mengakui dan  tidak menghormati kata La Hamsein, S,Si, Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Maluku Utara,  “ contoh jika BPN memberikan sertifikat pada masyarakat adat yang memiliki hak dan pemanfaatan serta wilayah kelola berada di hutan lindung kami yang dijebloskan dalam penjara karena itu, bertentangan dengan Undang-Undang” ungkapnya.

Ketua BPH AMAN Malut  mempresentasikan Hak-Hak Masyarakat Adat
Lanjut beliau Pemerintah Provinsi Maluku Utara di berikan kewenangan penuh membuat Perda masyarakat adat sebelum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. BPN mendukung gerakan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Malut 100% dan BPN siap mengadakan pengukuran tanah adat di Maluku Utara kalau itu memang ada” tambahnya

Sementara itu, Munadi Kilkoda, mengatakan Perubahan dan pergantian pemerintahan dari era Orde Baru ke era reformasi yang menimbulkan gejolak kasus sumber daya agraria melahirkan Ketetapan Majels Permusyawaratan Rakyat No.IX/ MPR/ 2001 tentang Reforma Agraria dan Sumber Daya Alam telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan Reforma Agraria secepat dan setuntas mungkin namun lagi-lagi Negara gagal dan bodoh melakukan program land reform di bangsa ini.  

Ada konspirasi elit negara dan pemodal dalam penentuan kebijakan politik tentang liberalisasi sektor agraria banyak memicu konflik yang dasyat di Maluku Utara contoh kasus PT Weda Bay Nickel dengan masyarakat adat sawai dan PT. Nusa Halmahera Minerals dengan masyarakat adat Pagu di Kabupaten Halmahera Utara. Komunitas masyarakat adat ini terancam di relokasi dan tergusur dari kampung halaman mereka dan saat ini mereka juga sulit mengakses tanah-tanah mereka.  Dia juga menambahkan ketidakseimbangan dalam distrubusi kepemilikan tanah pertanian masyarakat adat telah menimbulkan ketimpangan secara ekonomi bagi petani pengarap dari distrubusi kebijakan  ekonomi yang cenderung kapitalistik.

Dr. Saiful Ahmad, dan juga anggota DPRD Provinsi Maluku Utara. Mengungkapkan Pengakuan dan penghormatan  hak-hak masyarakat adat sangat stategis lewat Perda masyarakat adat. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di buat di Jakarta dan bertentangan dengan kondisi di daerah dan tidak mungkin mengakomodir masyarakat adat. Negara Indonesia pandai memposisikan diri menjadi negara pelayan atau negara komprador yang patuh,taat dan setia mengabdi pada kepentingan korporatokrasi.

Kepala Kanwil BPN Maluku Utara Sedang Menjawab Pertanyaan.
Lihat saja ada dua Kontrak karya PT. Weda Bay Nickel dan PT. Nusa Halmahera Minerals yang sulit  dinegosiasi ulang. Pertambangan, perkebunan sawit sesungguhnya merusak struktur sosial dan menghilangkan  hutan asli masyarakat adat yang di kelolah dan di manfaatkan secara terun-temurun. Perusahan hanya merekayasa hutan buatan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat’ katanya

Rusman Patiwael, SH, akademisi Universitas Khairun Ternate, menjelaskan bahwa masyarakat adat dalam  pengelolahan, pemanfaatan dan pengembangan hutan, mendapat pengakuan internasional. UUD pasal 18b ayat 2 Konstitusi kita juga memberikan perlindungan dan penghormatan untuk masyarakat adat.  Tapi anehnya “ Bangsa ini belum pernah memiliki UU tentang perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat.  Sebenarnya negara keliru menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 atas kewenangan penuh hak penguasaan, pengelolaan sumberdaya alam. Parameter negara untuk mengakui masyarakat hukum adat sudah pasti di UUD 1945, tegasnya

Reporter :
Ubaidi Abdul Halim
Kabiro Informasi dan Komunikasi AMAN Malut

Rabu, 24 Juli 2013

Pemerintah Kab.Halmahera Tengah Terkejut ketika Melihat Papan yang bertuliskan "HUTAN ADAT" berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor: 35/PUU/IX/2012 terhadap UU Kehutanan


Satgas Turun, Sebagian Kayu Raib


WEDA – Satgas Pengamanan Hutan Halteng bergerak  melakukan pemantauan hutan di sekitar wilayah pertambangan PT. Tekindo Energi Site Lelilef, Kecamatan Weda Tengah. Kegiatan tersebut difokuskan pada penghitungan Provisi Suberdaya Hutan Dana Reboisasi (PSDH-DRY). Informasi yang dihimpun menyebutkan,  satgas yang diterjunkan  adalah gabungan instansi  Dinas Kehutanan Halteng, Kejari Weda, dan Polisi Hutan.

Penghitungan PSDH-DRY dilakukan oleh tim ahli dari Dinas Kehutanan terhadap kayu log yang sebelumnya telah diamankan Polres Halteng beberapa waktu lalu. Diduga kayu itu merupakan hasil  penebangan liar yang ditebang di kawasan hutan lindung. “Penghitungan dilakukan untuk  mengetahui besarnya biaya yang harus dibayar perusahan yang melakukan penebangan, karena dianggap bertanggungjawab atas penebangan kayu log tersebut,” ujar salah satu anggota Satgas yang tak mau namanya di korankan. Ia juga tak mau menyebut nama perusahaan yang bertanggungjawab atas penebangan kayu log itu.

Ia mengungkapkan saat dilakukan pengukuran, beberapa kayu log yang telah di-police line telah hilang. Diduga kayu-kayu tersebut diambil oleh masyarakat mengingat ada  sisa-sisa potong kayu di lokasi kejadian.
Ia juga mengatakan di kawasan wilayah tambang salah satu perusahan telah terpasang papan nama bertuliskan ‘Hutan Milik Adat’ oleh masyarakat sekitar. “Klaim wilayah hutan adat tersebut berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor: 35/PUU/IX/2012 terhadap UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999. Namun ini perlu ada penjelasan dari pihak berwenang agar tidak salah paham dalam menafsirkan undang-undang,” katanya.     Ia mengatakan masyarakat yang mengklaim hutan tersebut adalah masyarakat Adat Suku Sawai. “Jadi harus ada pemahaman kepada masyarakat sebab klaim tanah adat harus dilakukan dengan pendekatan undang-undang, sehingga tidak terjadi tarik menarik antara masyarakat dan pemerintah sebagai aparatur negara,” tuturnya. (day/kox) alamat :http://malutpost.co.id/?p=41880