Kamis, 27 Desember 2012

SEKJEN AMAN DAN WAKIL KETUA KOMNAS HAM BERDIALOG DENGAN SUKU SAHU

Sekjen AMAN dan Wakil Ketua KOMNAS HAM disambut oleh Masyarakat Suku Sahu
Siang ini (27/12) Sekjend AMAN Abdon Nababan dan Wakil Ketua Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga menjadi nara sumber dalam dialog "Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Hak - Hak Masyarakat Adat Dalam Bingkai NKRI" sekaligus peresmian rumah adat Walalolom Suku Sahu, Halmahera Barat

Dalam materi dialog yang disampaikan oleh Sekjend AMAN, beliau mengatakan bahwa Masyarakat Adat Sahu telah dititipkan oleh leluhur mereka tanah adat yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, namun jika ini tidak dikelola masyarakat adat, maka akan diambil oleh perusahan-perusahan besar seperti tambang dsb. Kebanyakan tempat, nasib masyarakat adat sangat tidak beruntung, karena tanah yang kaya tadi menjadi malapetaka. "Sumberdaya alam diatas tanah adat kita kebanyakan di ekploitasi perusahan tambang, sawit dll, dan kita di suap dengan CSR, kita juga harus menjadi buruh, harus juga menerima nasib di kriminalisasi" Kata Abdon

Lanjut beliau, selama ini eksploitasi SDA alam di wilayah masyarakat adat  dikarenakan oleh kesalahan Pemerintah menerjemahkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Negara mengambil alih hak-hak masyarakat adat lalu diserahkan kepada perusahan. Akhirnya masyarakat adat sangat dirugikan.

Beliau mengatakan bahwa, Masyarakat Adat Sahu harus melakukan pemetaan wilayah adat, supaya wilayah ini bisa di jaga dan dipertahankan, bahkan bisa dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat adat. Begitu juga siapapun yang ingin melakukan eksploitasi diatas tanah adat Sahu harus mendapat persetujuan dari masyarakat adat yang diputuskan lewat musyawarah adat, bukan atas izin seseorang, lalu seenaknya mereka mengeksploitasi.

Sedangkan Sandra Moniaga sebagai Wakil Ketua Komnas HAM RI lebih menekankan pada perlindungan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara.

Menurut beliau gerakan masyarakat adat itu dasarnya adalah hak asasi yang di perjuangkan. Hak asasi itu mau diakui atau tidak diakui oleh negara itu ada pada setiap manusia, sebagai hak bawaan sejak lahir.

Lanjut beliau hak atas tanah adalah hak atas atas kekayaan yang harus dihormati oleh siapapun. Diatas hak atas tanah itulah, masyarakat memiliki hak untuk bekerja menjadi petani, nelayan untuk pemenuhan hidupnya.

Masyarakat juga memiliki hak untuk berorganisasi. Nah karena itu AMAN merupakan organisasi untuk memperjuangkan hak asasi masyarakat adat, terutama hak atas tanah, wilayah dan SDA.

Hak masyarakat atas wilayah itu dalam UU disebut dengan hak ulayat. Contohnya Hak masyarakat adat sahu yang disebut Ji'o. Namun faktanya kan hak masyarakat adat ini masih dilanggar. Banyak UU yang dibuat yang tidak mengakui hak - hak masyarakat adat, padahal UUD sudah mengakui itu.

Banyak tempat yang hak atas tanahnya itu masih dikuasai oleh IUP, HPH dan izin lain, dan banyak berpotensi melahirkan pelanggaran HAM. Namun masalah pelanggaran HAM ini harus diselesaikan secara damai tidak harus dengan cara kekerasan.

Dialog ini juga disertai dengan peresmian rumah adat walalolom yang di tandai penandatangan prasasti dari Sekjend AMAN dan KOMNAS HAM **
Sekjen AMAN dan Wakil Ketua KOMNAS HAM ditemani Kepala Suku Sahu

Senin, 10 Desember 2012

ROBINSON MINTA PEMKAB HALMAHERA BARAT BERTANGGUNG JAWAB



Ternate – Ketua Dewan Adat Suku Sahu Jio Talai Padusua Robinson Missi membantah tudingan Charles, salah satu pemangku adat Tibobo yang menyebutkan dirinya sebagai dalang kekisruhan antara warga Ngaon dan Tibobo di Kecamatan Sahu Timur, Halbar.

Robinson yang juga anggota DPRD Provinsi (Deprov) Malut itu, balik mengatakan, pihaknya dalam hal ini dewan adat sudah mengetahui dalang yang sebenarnya dalam permasalahan ini. “Kita sudah tahu siapa aktornya, tapi belum mau sampaikan ke public,” kata Robinson yang juga tercatat sebagai Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara ini.

Dia menandaskan, sengketa lahan seluas kurang lebih 10 hektar yang masuk dalam wilayah adat di 28 desa ini menjadi tanggung jawab dewan adat. Sebagai Pimpinan Adat, dia mengatakan tidak akan tinggal diam, bahkan berjanji terus memperjuangkan hak – hak masyarakat adat. “Saya tidak pernah mundur selangkahpun dan tetap berpegang pada konstitusi adat. Saya imbau kepada masyarakat adat untuk tetap tenang, jangan terpancing dengan isu – isu yang memprovokasi untuk perkeruh keadaan,” imbaunya. Dalam pekan ini, lanjut Robinson, lembaga adat suku Sahu akan menggelar rapat dengan Pemkab Halbar membicarakan masalah ini.

“Pemkab Halbar harus bertanggung jawab karena mengeluarkan izin tambang kepada perusahan PT Oro KNI untuk eksploitasi sejak tahun 2007. Jadi kita akan bicarakan dengan mereka,” Katanya.
Menurutnya, permasalahan seperti ini terjadi karena Pemkab seharusnya melakukan sosialisasi sebelum mengeluarkan izin tambang. “Masalah ini sampai terjadi karena memang Pemkab Halbar tidak maksimal sosialisasi ke masyarakat. Nanti ada masalah seperti ini baru mengkambinghitamkan lembaga adat. Jadi Pemkab Halbar harus bertanggung jawab,” ujarnya seraya menambahkan, pihaknya memberikan apresiasi ke polres Halmahera Barat. “Saya juga berikan apresiasi ke Polres Halbar yang telah melakukan pengamanan dengan pendekatan persuasive, “ tambahnya.(Sumber Malut pos Edisi 10 Desember 2012) (wat/fai)  




Sumber: Malut Post, Senin 10 Desember 2012

Sabtu, 08 Desember 2012

DUA DESA DI HALMAHERA BARAT TEGANG - Oknum Deprov di tuding sebagai pemicu


JAILOLO - Sengketa lahan kembali terjadi. Kali ini diantara Masyarakat Adat yang ada di Desa Ngaon dan di Desa Tibobo, Kecamatan Sahu Timur Kabupaten Halmahera Barat (halbar) saling klaim kepemilikan lahan menyusul rencana masuknya PT ORO KNI Global di sekitar Gunung Kasabeta, Sahu Timur.

Awalnya, tak ada masalah apapun diantara kedua desa itu,masalah baru muncul beberapa pekan terakhir, saat tim dari  PT ORO KNI Global turun melakukan survey di lahan milik Masyarakat Adat Jiotalai Paditalasua (Leluhur Suku Sahu) yang ada di Gunung  Kasabeta Sahu Timur. Ketegangan antara dua desa ini, memuncak hari Jumat (7/12 kemarin. Isu berkembang, 5 warga Desa Tiboboyang mendampingi tim survey PT ORO KNI Global di lokasi Gunung Kasabeta, di hadang warga Desa Ngaon. Spontan, warga Desa Tibobo langsung berniat untuk menyerang warga Desa Ngaon. Beruntung keinginan warga Tibobo ini, berhasil di bendung aparat kepolisian dari Polres Halbar dan pihak TNI.

Massa diblokade aparat di Desa Taba Cempaka sehingga massa tak berhasil masuk ke Desa Ngaon. Karena jumlah aparat yang banyak, massa akhinya membubarkan diri, koordinator warga Desa Tibobo, Charles,  meminta kepada ketua adat Sahu, Robinson Missi untuk menemui warga Desa Tibobo dan menjelaskan kesepakatan dalam rapat yang di gelar di rumah adat Desa Loce, Senin (3/12) lalu, terkait rencana  survey PT ORO KNI Global. Charles Rano bahkan menuding ketuaadat Sahu yang juga anggota DPRD Provinsi  sebagai otak ketegangan antar dua desa tersebut.

Otak yang menyebabkan kisruh diantara dua desa ini adalah Ketua adat Desa Sahu, Robinson Missi yang juga anggota Deprov Malut. Dia harus bertangung jawab serta mampu menjelaskan masalah  tersebut, tuding Charles. Gesekan antar dua desa ini terjadi karena kepentingan elit politik semata, imbuhnya.

Sementara Jumat (7/12) sekitar pukul 14.30, masyarakat adat mengadakan pertemuan di rumah adat Desa Ngaon. Pertemuan itu dihadiri langsung oleh Robinson Missi, Camat Sahu Timur Fransiska Renyaan, Kadistamben Usman Drakel, Anggota DPRD Halbar Arnol Boky, Kasat Sabhara Polres Halbar, IPTU Roni Sedeng. Pertemuan itu mensosialisasikan kegiatan survey yang dilakukan oleh PT ORO KNI Global. Warga Desa Ngaon umumnya mendukung survey yang di lakukan oleh perusahaan tambang tanah pembuatan ubin itu.

Setelah dari Desa Ngaon, pertemuan dilanjutkan di rumah adat Desa Tibobo sekitar pukul 15.49, dalam pertemuan itu, Robinson Missi menyampaikan lahan atau lokasi yang akan di survey tersebut bukan milik warga kedua desa, melainkan tanah milik leluhur Suku Sahu (Jiotalai Paditalasua). Setelah mendengar itu salah satu anggota BPD Desa Tibobo, Erens Tatundunge langsung protes. Dia menganggap Robinson Missi mau mengubah sejarah adat Sahu. 

Hingga berita ini terbitkan aparat Kepolisian dan TNI masih berjaga-jaga di perbatasan antara warga dua desa tersebut.(Sumber : Malut Pos edisi 08 Desember - met/one)

AIR SUNGAI KOBE KERUH DIDUGA AKIBAT AKTIVITAS TAMBANG


WEDA - Kondisi air sungai Kobe yang menjadi sumber air minum bagi warga setempat kini berubah warna menjadi kuning kecoklatan-coklatan dan berlumpur. Akibatnya, warga enggan mengkonsumsi lagi air ini lagi. Bahkan aliran irigasi yang sering di gunakan untuk mandi dan mencuci serta menjadi irigasi sawah sudah sangat memprihatinkan.

Kondisi air Kobe memprihatinkan karena telah terkontaminasi oleh lumpur akibat aktivitas pertambangan perusahaan nikel, ucap ismail salah satu warga Kobe pada koran ini kemarin.
Islaim juga menyesalkan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Halteng dan Dinas Pertambangan dan Energi yang tidak melakukan pengawasan serta tidak melaksanakan evaluasi lingkungan semenjak kegiatan penambangan berjalan, BLH terkesan tidak melakukan evaluasi lingkungan hidup per triwulan, dan hanya melihat secara kasat mata saja, padahal sudah di isyaratkan dalam dokumen Amdal dan UU tentang Lingkungan Hidup itu sendiri, sehingga kita tahu sejauh mana perkembangan lingkungan hidup secara berkala, termasuk pihak DPRD agar melihat kondisi warga yang semakin menderita karena air sudah tidak bisa di konsumsi lagi, ujarnya.

Di daerah sekitar DAS Trans kobe sendiri beroperasi perusahaan tambang PT Tekindo. Kami harap DPRD melihat perubahan kondisi air itu, untuk memangil BLH, Distamben dan pihak perusahaan,tambahnya (Sumber : Malut Pos edisi 08 Desember 2012,- day/kox)

Rabu, 05 Desember 2012

KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DAN MASYARAKAT ADAT

Oleh: Radios Simanjuntak
Dosen UNIERA dan Mahasiswa Pasca Sarjana IPB

Indonesia memiliki 50 kawasan hutan dan perairan dengan status Taman Nasional. Merujuk pada UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Dari defenisi tersebut di atas, pembentukan taman nasional di Indonesia lebih dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelestarian sumberdaya alam yang dalam pemanfaatannya ditujukan bagi kepentingan sains modern dan kepariwisataan, sementara adat bukan menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam pembentukan taman nasional. Oleh karena itu, sedikitnya 24 (dua puluh empat) dari 50 (lima puluh) taman nasional yang sudah dibentuk, kawasannya bertumpang tindih dengan wilayah adat atau terkait dengan masyarakat adat (Kosmaryandi 2012). Kondisi ini diperparah dengan penentuan sistem zonasi yang hanya mengadopsi sains modern dan tidak mempertimbangkan adanya kearifan tradisional. Kriteria pembentukan zonasi taman nasional belum dibangun dengan pola pikir kesetaraan dan mutual benefit dengan masyarakat adat, sehingga terjadi ketidakselarasan kriteria antara pola penggunaan ruang yang diterapkan pemerintah (zonasi) dengan pola penggunaan ruang tradisional yang menyebabkan tidak terpenuhinya persyaratan zonasi pengelolaan taman nasional.

Di Provinsi Maluku terdapat satu Taman Nasional yakni Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) yang ditunjuk melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.397/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004  dengan luas mencapai ± 167.300. TNAL terdiri dari Blok Aketajawe yang berada di Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Tidore Kepulauan serta Blok Lolobata yang berada di Kabupaten Halmahera Timur.

TNAL merupakan salah satu taman nasional yang memiliki potensi konflik dengan komunitas adat di dalam kawasannya, yakni Komunitas Tobelo Dalam (O Hongana Ma Nyawa) atau yang lebih dikenal dengan Komunitas Tugutil. Komunitas Tugutil, khususnya pada kelompok yang masih hidup dengan pola nomaden, sangat bergantung dengan sumberdaya hutan yang dibuktikan dengan cara hidup berburu, meramu dan ladang berpindah (Karim et al. 2006). Kondisi ini akan menyebabkan konflik dan tidak efektifnya zonasi yang telah dibuat jika masyarakat tidak diberikan akses khusus tehadap sumberdaya. Sebagai informasi, zonasi taman nasional di Indonesia didasarkan atas UU No. 5 tahun 1990 yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Selanjutnya dalam PP No. 28 tahun 2011, zonasi taman nasional meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan atau zona lain sesuai kebutuhannya. Selanjutnya, penjabaran dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional terdapat upaya untuk mempertimbangkan keberadaan masyarakat dalam kawasan taman nasional, yaitu dengan menambahkan “budaya” sebagai tujuan pemanfaatanya. Penambahan “budaya” ini menjadi payung untuk zona tradisional, religi dan budaya sebagai bagian dari zona lain taman nasional. Adanya perbedaan zonasi dari masing-masing peraturan ini menunjukkan inkonsistensi peraturan perundangan.

Terlepas dari hal tersebut, kriteria yang dibangun dalam Permenhut tersebut bagi kawasan taman nasional yang berada dalam wilayah adat menjadi sulit diterapkan karena penerapan kriteria akan menyebabkan tidak terpenuhinya zona-zona yang dipersyaratkan. Sebagai contoh salah satu kriteria dalam menentukan zona inti adalah mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, sementara itu salah satu kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan zona tradisional adalah adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada kawasan seperti TNAL sangat sulit untuk menemukan kawasan yang masih asli dan belum terganggu oleh kegiatan Komunitas Tugutil. Pola hidup dan sejarah pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan yang nomaden menyebabkan keseluruhan kawasan TNAL diduga menjadi daerah jelajah dan menjadi tempat yang digunakan untuk sumber pemenuhan hidup dan kehidupannya, sehingga keseluruhan kawasan tidak memenuhi kriteria zona inti, sebaliknya dapat memenuhi kriteria sebagai zona tradisional. Pada situasi seperti ini, pemerintah masih tetap mengharuskan adanya zona-zona yang menjadi persyaratan minimal dalam sistem pengelolaan taman nasional. Zonasi taman nasional yang ada di TNAL secara definitif memang belum ada dan sampai saat ini masih menunggu keputusan dari Kementerian Kehutanan. Zonasi yang ada pun hanya untuk blok Lolobata, sedangkan blok Aketajawe masih dalam tahap perencanaan.

Setidaknya terdapat dua laporan yang menunjukkan tentang sebaran Komunitas Tugutil di kawasan TNAL yakni Balai TNAL (2010) dan Indriani (2009). Berdasarkan hasil interpretasi dari peta penyebaran diketahui bahwa terdapat perbedaan mengenai titik sebaran Komunitas Tugutil di dalam kawasan taman nasional. Penelitian Indriani (2009) menunjukkan hanya satu titik penyebaran yang berada di dalam kawasan TNAL, sedangkan berdasarkan peta dari TNAL setidaknya terdapat 8 titik penyebaran yang terdapat di dalam kawasan TNAL. Perbedaan data penyebaran ini dimungkinkan oleh pola hidup berpindah (nomaden) Komunitas Tugutil karena penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda. 

Kontradiksi
Berdasarkan gambaran di atas, terdapat kontradiksi pemanfaatan sumberdaya alam oleh Komunitas Tugutil terhadap peraturan yang ada, yakni adanya pemanfaatan kawasan di zona yang tidak sesuai peruntukannya atau bentuk pemanfaatan satwa yang telah dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, seperti kuskus (Phalanger ornatus) dan rusa (Cervus timorensis). Sementara itu Soa-Soa (biawak, Varanus sp.), yang dimanfaatkan dengan mengambil langsung di alam, masuk dalam apdendix II CITES yang seharusnya pemanfaatan hanya dari hasil perkawinan dalam penangkaran (F1). Pola pemanfaatan ini juga kontradiksi dengan PP No.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pasal 35 ayat 2 yang menyatakan bahwa pemanfaatan tradisional hanya dilakukan secara terbatas bagi jenis yang tidak dilindungi.

Ilustrasi legislasi di atas menjadi tidak bermakna ketika berhadapan dengan masyarakat sekitar yang sepenuhnya bergantung kepada kawasan hutan. Pengelolaan yang ada saat ini menjadi tidak efektif ketika kebutuhan sehari-hari masyarakat untuk mengambil sumberdaya hutan secara langsung tidak terpenuhi akibat benturan dengan peraturan yang ada. Kebijakan pengelolaan taman nasional belum bisa memberikan hak dan peran masyarakat adat sesuai dengan prinsip keadilan karena masih di dasari pada kepentingan nasional atau bahkan internasional. Penetapan dan pengelolaan taman nasional dengan menutup akses terhadap kebutuhan primer mereka selama ini, justru akan menyebabkan kelestarian hutan sebagai tujuan konservasi tidak akan tercapai.

Oleh karena itu, pada kawasan taman nasional yang di dalamnya dihuni oleh masyarakat adat sebaiknya diberikan kriteria khusus dalam peraturan perundangan, baik dalam bentuk pengelolaannya maupun kriteria penetapan zonasinya. Dalam konteks TNAL yang dikaitkan dengan peraturan perundangan yang ada, maka kriteria zonasi untuk zona inti dan zona rimba sudah tidak dapat dipenuhi karena Komunitas Tugutil bebas memanfaatkan sumberdaya alam di seluruh kawasan hutan termasuk pada zona inti dan zona rimba, atau dengan kata lain selama peraturan yang ada tidak mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat yang sepenuhnya bergantung kepada hutan, seperti Komunitas Tugutil, akan terdapat kontradiksi pengelolaan taman nasional secara formal. Sehingga diperlukan perubahan kebijakan pengelolaan taman nasional dan adaptasi kriteria zonasi agar dapat dipenuhi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati yang menjadi mandat dibentuknya taman nasional dan kepentingan kehidupan masyarakat adat di dalamnya. Selanjutnya penentuan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sampai saat ini juga belum didasarkan terhadap kajian kekinian. Belum ada kajian parameter demografi (ukuran populasi, natalitas, mortalitas, kelas umur dan sex ratio) dan dinamika populasi dari jenis-jenis yang dilindungi tersebut yang seharusnya menjadi dasar status perlindungan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai scientific authority yang memberikan rekomendasi terhadap jenis-jenis yang dilindungi seharusnya melakukan kajian tersebut. Akibatnya, orientasi konservasi yang ada saat ini masih berada dalam tahap preservasi (perlindungan-pengawetan). Padahal saat ini, semakin besar tuntutan terhadap multi fungsi kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi di dalamnya.

Dalam konteks jenis satwa dilindungi yang berada di TNAL yang dimanfaatkan oleh Komunitas Tugutil, seperti rusa (Cervus timorensis), hendaknya dilakukan kajian parameter demografi dan dinamika populasi untuk mengetahui apakah jenis ini memang tidak memungkinkan dimanfaatkan atau sebaliknya jenis ini sangat memungkinkan dipanen/ dimanfaatkan secara subsisten oleh Komunitas Tugutil untuk menjaga keseimbangan ekosistem. (Sumber :http://malutpost.co.id/?p=4880)

Selasa, 04 Desember 2012

CATATAN PERJALANAN KE TANAH KELAHIRAN

Anak-anak sementara mancing di teluk Weda
 Sekitar pukul 06.30, waktu yang terbilang masih sangat pagi. Rasa ngantuk masih menyatu dalam diri sehingga sangat berat rasanya untuk beranjak dari tempat tidur. Namun pagi itu saya harus melanjutkan perjalanan menuju tanah kelahiran yang dipisahkan ratusan kilometer dari Weda yang merupakan ibukota kabupaten Halmahera Tengah.
Pagi itu, aktifitas pelabuhan sudah mulai ramai. Mandor – mandor speed boat sudah siaga di loket karcis, sebagian memperbaiki mesin sebelum berangkat. Ya, harus menggunakan speed boat sebagai angkutan transportasi umum yang melintas laut Halmahera. Pilihan menggunakan speed boat sebagai alternative, sebab tak ada jalur transportasi lain, seperti jalan darat yang entah kapan akan dibuka oleh pemerintah. 
Penumpang yang akan bepergian ke tempat lain juga mulai berdatangan. Tak lama kemudian aku menghampiri petugas loket dan membayar harga speed boat dengan tujuan desa Messa. Untuk perorang dari Weda menuju Messa dengan jarak tempuh sekitar 1 jam 45 menit, harus membayar dengan harga Rp 150.000. Dalam benak, aku coba melahirkan pertanyaan, “ternyata sangat mahal untuk pulang kampong dan mungkin pemerintah tidak menyadari harga transportasi seperti ini sangat tidak adil bagi masyarakat umum, terutama orang kayak aku begini”.
Tak berlangsung lama, speed boat pun berangkat dari dermaga menuju kampung yang menjadi tujuan kami. Sepanjang jalan, kita bisa menikmati pemandangan alam pulau Imam, pulau Yefi, Batu Dua dll. Keindahan alam itu sangat kontras dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat adat Sawai yang tak jauh dari Weda. Pemandangan hutan yang gundul karena eksploitasi tambang PT Weda Bay Nikel dan PT Tekindo, juga jejeran kapal tangker yang siap angkut biji nikel yang diambil dari hasil keruk tanah adat suku Sawai.
Sepertinya ruang – ruang hidup masyarakat adat baik hutan dan tanah yang tersisa tak akan dibiarkan diam oleh cukong – cukong capital yang selama ini mendapat restu dari Negara. Ya, mereka pasti tidak berhenti, sepanjang sumberdaya alam diatas tanah adat tersebut belum dikeruk habis.
Sepanjang mengikuti perkembangan masuknya investasi tambang di wilayah Suku Sawai, seperti hadirnya PT Weda Bay Nikel, PT Tekindo, PT Bhakti Pertiwi Nusantara, dan PT Chong Hay, sudah beragam konflik yang dilahirkan, terutama konflik tanah masyarakat adat dengan perusahan dan pemerintah daerah. Tak bisa dipungkiri bahwa peralihan profesi kerja masyarakat dari bertani dan nelayan menjadi buruh kasar diperusahan terus terjadi. Praktek eksploitasi wilayah adat secara massif yang dilakukan oleh investasi skala besar menjadi ironi bagi masyarakat adat setempat. Bahkan jika penyadaran tidak dilakukan, perlahan – lahan masyarakat adat beranggapan perusahan sebagai sumber kehidupan yang bisa menghidup mereka. Itu sangat beresiko terjadinya pelepasan wilayah adat untuk di ekploitasi habis oleh perusahan tersebut. 
Tak berapa lama kemudian speed boat pun sandar di pelabuhan desa Messa yang terletak di bagian utara kecamatan Weda. Desa kecil tempat kelahiran aku ini diiming – iming akan jadi ibukota kecamatan Weda Timur.  
Desa dengan penduduk hampir seribu jiwa ini, masyarakatnya lebih dominan berprofesi sebagai petani, sebagian kecil adalah nelayan. Satu kepala keluarga (KK) minimal memiliki dua lahan kebun. Mereka lebih senang menanam tanaman tahunan seperti pala, cengkeh, coklat dan kelapa. Hasil produksi pala dan cengkeh biasa dipasarkan di kota Ternate yang jarak tempuhnya bisa sampai 2 hari. 
Sedikit menengok kebelakang. Desa ini sekitar tahun 90-an, merupakan penghasil pangan terutama pangan local, berupa ubi kayu, pisang dan sagu, bahkan tanaman bulanan lain seperti cabe, tomat, kacang tanah, dll, dimiliki oleh setiap KK. Nilai social yang dibangun membuat warga hidup dengan nyaman, tidak perna ada yang mengeluh karena kelaparan. Segala kekurangan yang dimiliki oleh salah satu pihak, akan ditutupi oleh pihak yang lain. Bahkan hasil tangkapan ikan pun tak perna dijual belikan dengan rupiah, cukup dibagi habis kepada mereka yang membutuhkan.
Tanaman – tanaman bulanan itu yang tak tampak lagi saat ini. Bahkan untuk makan cabe dan tomat serta sayur saja, harus menunggu penjual dari trans yang pada umumnya orang jawa yang biasa seminggu baru sekali jualan. Nilai social mulai berkurang. Semangat untuk saling menutupi kekurangan tidak lagi terjadi karena setiap orang merasa kurang. Masyarakat Messa tidak lagi menjadi produsen tapi menjadi konsumen. Barang seperti tomat dsb yang di miliki dihasilkan dari praktek jual beli antara pribumi dan pendatang (transmigrasi). 
Dalam beberapa kesempatan diskusi dengan warga, mereka mengakui bahwa saat ini sebagian besar warga sudah jarang berkebun. Mereka lebih senang kerja borongan di setiap proyek pembangunan infrastruktur karena lebih cepat dapat uang. Bahkan sebagian memilih bekerja di perusahan tambang di bandingkan berkebun. 
Upaya mengubah paradigma mereka pun dilakukan selama beberapa hari di kampong dengan melakukan diskusi – diskusi terbatas. Masyarakat diberikan pemahaman terkait dengan dampak buruk investasi tambang dan pentingnya tanah sebagai identitas yang tentu juga kebun sebagai investasi masa depan mereka. 
Dinamika perubahan kehidupan masyarakat di desa Messa berjalan begitu cepat. Pola kehidupan mulai berubah, oleh karena intervensi dari pihak luar yang merubah masyarakat semakin tidak mandiri. Kesimpulan liar saya, bahwa ada konstruksi nilai baru yang dipelihara dengan baik. Nilai ini merubah pola pikir masyarakat menjadi individualistik. Bahkan pengaruh nilai ini seiring dengan masuknya investasi – investasi tambang di wilayah – wilayah masyarakat adat terutama masyarakat desa Messa yang merupakan suku Sawai.