Rabu, 20 Mei 2015

AMAN Haltim Gelar Musyarawah II



Buli - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Halmahera Timur menyelenggarakan Musyawarah Daerah (MUSDA-II). Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal 16/15 yang dipusatkan di Gedung Serba Guna Buli ini di hadiri komunitas adat yang berada di Halmahera Timur.
Camat Maba, Ailen Goeslaw, yang didaulatkan untuk membuka acara mengatakan atas nama pemerintah kecamatan Maba berterima kasih kepada AMAN yang telah memilih Buli sebagai tempat musyawarah daerah. Langkah ini sebagai tonggak sejarah bagi masyarakat adat untuk menentukan arah perjuanganya.
Sambutan Ketua Panitia MUSDA AMAN Haltim

“Masyarakat adat harus terus memperjuangkan kepentingan mereka, terutama terkait dengan hak-haknya. AMAN harus menjadi pelopor dalam perjuangan tersebut” ungkap beliau

Sementara Ketua BPH AMAN Halmahera Timur Bahri Hayun mengatakan bahwa organisasi ini berbasis pada masyarakat adat, dengan tugas melakukan pembelaan, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat adat di Halmahera Timur. Apalagi oleh Bahri, Haltim saat ini dikepung izin investasi tambang. “Tanah dan wilayah masyarakat adat di Halmahera Timur harus dihormati dan dihargai siapapun yang berinvestasi di wilayah dan daerah kami” tegas beliau.

Bahri yang juga anggota DPRD Haltim ini mengatakan masyarakat adat harus dilibatkan oleh pemerintah daerah dalam perumuskan kebijakan pembangunan di sector sumberdaya alam yang berdampak terhadap kehidupan mereka

Sementara Munadi Kilkoda Ketua AMAN Malut, menjelaskan, Musda ini mengambil momentum yang tepat bersamaan dengan dua tahun masyarakat adat merayakan Putusan MK 35 yang telah mengakui hutan adat bukan hutan negara. Dua tahun berjalan dia berpandangan belum banyak berubah kebijakan yang terkait dengan masyarakat adat. Misalnya di Haltim, masih saja terjadi perampasan tanah-tanah adat lewat skema izin tambang dan kehutanan maupun sawit. “Kita tahu di Maluku Utara sendiri ada 335 IUP dan di Haltim merupakan salah satu kabupaten dengan laju investasi masif. Apa yang terjadi, banyak tanah-tanah adat digusur dan dirusaki perusahan-perusahan tersebut. Masyarakat adat yang mau memanfaatkan tanah dan hutannya justru di usir dari wilayah adat mereka” kata Munadi
Hardi Musa mewakili pemerintah sedang mempresentasikan materinya

Munadi berpesan kepada masyarakat adat di Haltim untuk merespon putusan MK 35 ini dengan segera melakukan pengamanan wilayah-wilayah adat mereka lewat pemetaan. AMAN hadir di Haltim dengan tujuan membantu masyarakat adat disini untuk bisa berjuang sama-sama mempertahankan tanah airnya untuk masa kini dan masa akan datang. “Orang lain tidak bisa menjadi tuan tanah, sementara kita pribumi menjadi pengemis. Negara harus berlaku adil kepada kita semua sebagai warga negara Indonesia” Tutup Munadi

Setelah itu dilanjutkan Sarasehan dengan mengangkat tema Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Halmahera Timur. Narasumber yang hadir adalah Munadi Kilkoda (Ketua AMAN), Bahri Hayun (DPRD Haltim) dan Hardi Musa (Pemda Haltim).
Musda tersebut menetapkan Sofyan Mumen sebagai Ketua BPH AMAN Haltim, Bahri Musa sebagai Ketua Dewan AMAN Daerah beserta 5 anggota dewan utusan komunitas masyarakat adat di Haltim. ***Ubaidi Abdul Halim


Sabtu, 21 Februari 2015

UKP3 Fasilitasi Lokakarya Pemetaan Wilayah Adat


Banemo - Masyarakat adat hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun diatas wilayah adat dengan memiliki kedaulatan atas tanah, wilayah, sumberdaya alam, dan kearifan local yang diatur untuk keberlangsungan hidup mereka berdasarkan hukum adat. Ciri inilah membedakan masyarakat adat dengan masyarakat lain. Demikian disampaikan Albert Ngini, Kepala Unit Kerja Pemetaan Partisipatif (UKP3) AMAN Maluku Utara saat memfasilitasi Lokakarya Pemetaan Wilayah Adat Pnu Banemo.
Pemetaan partisipatif komonitas  Pnu banemo
Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 11-12 Februari 2015, bertempat di kantor desa Bobane Indah. Peserta yang hadir adalah tokoh-tokoh adat dan kelompok pemuda adat dari desa tersebut. Sebelumnya pemerintah telah memekarkan Banemo menjadi tiga desa, desa Bobane Indah, Bobane Jaya dan Banemo, namun mereka adalah satuan wilayah adat yang disebut Pnu Banemo.
Albert melanjutkan identifikasi wilayah adat melalui proses pemetaan bertolak dari sejarah penguasaan wilayah adat. Tahapan pertama adalah melakukan sosialisasi, lokakarya, survei, verifikasi antar komunitas dan sampai pada pengesahan peta. Tahapan ini, komunitas masyarakat adat yang bertetangga akan dilibatkan untuk sama-sama melakukan verifikasi batas wilayah yang sudah dipetakan. Selain itu, peta yang dimiliki akan menjadi basis klaim yang memperkuat posisi masyarakat adat ketika berhadapan dengan pihak luar yang mau menguasai wilayah adat.
Sementara Irawan Jalal, salah satu tokoh pemuda Banemo, juga Koordinator Aliansi Peduli Patani Barat dalam Lokakarya tersebut mengatakan “Rencana investasi sawit PT Manggala Rimba Sejahtera akan menguasai hutan mereka sebesar 11.870 hektar. Namun mendapat penolakan keras dari masyaraka adat Pnu Banemo karena HGU perusahaan berada dalam kebun pala masyarakat yang selama ini merupakan sumber ekonomi masyarakat”, tegasnya
menyusuri pengunungan mengambil titik koordinat

Hal senada disampaikan juga Iswadi Saleh, Tokoh pemuda Pnu Banemo yang selama ini getol menolak sawit, ” Pala itu jangan hanya dilihat hanya sebagai komoditas yang bernilai ekonomi, namun menjadi identitas kami sebagai masyarakat Banemo. Jadi wajar kalau kami menolak kehadiran PT MRS” tuturnya.
Kegiatan ini dilakukan untuk memberi pemahaman tentang defenisi, keguanaan dan fungsi peta. Setelah itu peserta lokakarya mulai menggali sejarah kepemilikan wilayah dan batas-batas wilayah adat kemudian dituangkan dalam bentuk gambar sketsa.
Hari kedua, peserta diajarkan teknik-teknik survei pemetaan dan bagaimana penggunaan alat GPS oleh Adlun Fiqri, staff UKP3 AMAN Malut. Oleh Fiqri dijelaskan GPS atau Global Positioning System adalah sistem posisi global untuk menentukan koordinat sebuah obyek, lalu menerjemahkannya dalam bentuk peta digital. GPS memiliki banyak fungsi salah satunya bisa digunakan dalam pemetaan wilayah adat dengan skala yang luas dan untuk pendokumentasian wilayah masyarakat adat,” tutupnya.
Setelah dua hari latihan dengan alat pemetaan, pada hari ketiga masyarakat bersama-sama mengambil titik koordinat sesuai batas wilayah adat yang sudah disepakati oleh mereka ***Ubaidi Abdul Halim

Kamis, 22 Januari 2015

JOKOWI "Tunggu Apa Lagi"Sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat,"Coka Iba Bukti Historis"


Mobon, Potons dan were merupakan tiga orang bersaudara yang sering disebut Gamrange. Tiga manusia ini, berasal dari Pulau Halmahera. Gamrange juga biasanya diasosiasikan tiga Negeri bersaudara yaitu Maba, Patani dan Weda. Di Negeri Gamrange inilah di jumpai tradisi unik seperti Coka Iba. Coka Iba adalah topeng yang digunakan pada saat peringati hari kelahiran Nabi Muhammad SWA” tutur Kepala Desa Tepeleo Dahlan Hi Muslim.

Tarian Coka Iba mengelilingi kampung
Masyarakat adat di Wilayah Gamrange menyebutnya Maulur atau hari Coka Iba, Tradisi budaya ini, diawali dengan pembacaan sarafal`anam pada tanggal 10 rabiul awal dan diakhiri dengan pembacaan riwayat nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 rabiul awal, masyarakat akan mengaji, berzikir dan berdoa memintah pertolongan pada Allah untuk keselamatan dunia dan alam semesta dengan tabuhan rebana pada malam hari di Mesjid Almunnawar Desa Tepeleo. Coka Iba akan muncul dan menari-nari mengelilingi tua-tua adat dan tokoh-tokoh agama yang berzikir sampai menjelang fajar" Patani Utara, 15/01/2015.

Pagi ini, coka iba akan keluar rumah sekitar pukul 05.00, Mereka berkumpul di rumah kepala adat atau kepala desa untuk selanjutkan akan mendengar arahan dari kepala adat. Coka Iba juga memegang rotan untuk memukul siapa saja yang keluar dari rumah” Ungkap Nirwan Muhammad salah satu Pemuda Desa Tepeleo, Kecamatan Patani Utara.

Coka Iba berjalan menuju kepala adat
Coka Iba sebagai bukti historis keberadaan masyarakat adat Gamrange dalam mempertahakan budaya, hukum adat, dan warisan leluhur yang di pertahakan hinnga kini. Silahkan mengelilingi dunia,topeng coka iba tidak terdapat di Negara manapun hanya ada di wilayah Gamrange yaitu terdapat di Provinsi Maluku Utara tepatnya di Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, harusnya keberadaan masyarakat adat Gamrange harus di hormati dan diakui Negara lewat Undang-Undang maupun peraturan daerah"kami berharap dan tunggu apa lagi" Presiden Joko Widodo agar secepatnya mengakui keberadaan masyarakat adat di seluruh Nusantara. tegasnya
Coka Iba adalah tradisi serta pesta ritual adat yang melekat secara turun-temurun masyarakat adat Gamrange, sampai kini masih dipertahakan.  Budaya Coka Iba bukan pemberian sultan Tidore tapi jauh sebelum kesultanan dan sebelum terbentuknya Negara ” tutupnya. Ubaidi Abdul Halim


Jumat, 02 Januari 2015

ESDM: Ribuan Izin Pertambangan Terancam Dicabut

Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan batas waktu rekonsiliasi atau penyelesaian Izin Usaha Pertambangan (IUP) bermasalah, tetap pada akhir tahun ini. Dari 10.918 IUP di seluruh Indonesia, yang telah mendapatkan status clean and clear (CnC) sebanyak 6.042 IUP, sedangkan 4.876 IUP sisanya masih bermasalah dan belum berstatus CnC.
Pertambangan Batu Bara

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan pihaknya bersama 12 Kepala Dinas ESDM Provinsi sedang membahas mengenai percepatan penyelesaian IUP bermasalah. Hal ini mengingat batas waktu akhir tahun tinggal menghitung hari.

"Pada prinsipnya mereka sudah menyerahkan ke kami IUP-IUP yang tidak bisa direkonsiliasikan. Kami tegaskan batas waktunya tetap pada akhir tahun ini," kata Sukhyar di Jakarta, Senin (22/12).

Sukhyar menuturkan tidak semua IUP bermasalah bakal dicabut izinnya pada 31 Desember nanti. Dia menyebut ada beberapa IUP yang masalah administrasinya harus dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam Negeri. "Karena ada pemekaran wilayah maka kewenangan administrasi ada di Kementerian Dalam Negeri," ujarnya.

IUP bermasalah atau belum mendapatkan status CnC lantaran wilayah pertambangannya tumpang tindih dengan wilayah IUP lain serta terkait masalah keabsahan administrasi. Penyelesaian IUP tersebut telah dilimpahkan Kementerian ESDM kepada pemerintah daerah penerbit IUP.

Selain itu Kementerian ESDM melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan tata kelola sektor pertambangan. Supervisi dan pengawasan kepada 12 provinsi penghasil tambang dilakukan sejak awal 2014. Adapun 12 Provinsi itu antara lain Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Jambi, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Sumber :http://www.beritasatu.com/ekonomi/235231-esdm-ribuan-izin-pertambangan-terancam-dicabut.html

Penulis: Rangga Prakoso/FMB

Abdon Nababan: 2014, Puncak Kegagalan SBY Sebagai Presiden RI

JAKARTA, SACOM – Satu kalimat untuk 10 tahun kepemimpinan SBY, dia adalah presiden gagal: gagal memahami masyarakat adat, gagal melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan gagal memenuhi janjinya kepada masyarakat adat.

Sekjen AMAN Abdon Nababan
Demikian ditegaskan Sekertaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, dalam catatan akhir tahun organisasi AMAN 2014 di Balai Kartini Jakarta Pusat (22/12).

Bukan sekedar ngomong. Buktinya, kekerasan dan kriminalisasi sering terjadi di kantung-kantung komunitas adat. Beberapa contoh kasus kejadian dibeberkan dalam pertemuan itu.

Khusus pada tahun 2014, ada 9 anggota komunitas masyarakat adat dianggap kriminal oleh pemerintah setempat. Ini baru tahun 2014 saja lho. Kita belum berbicara tahun-tahun sebelumnya dimasa SBY memimpin, sebelum akhirnya diganti oleh Jokowi, mantan Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2014 baru-baru ini.

“21 April 2014, Pengadilan Negeri Bintuhan Kabupaten Kaur Bengkulu menghukum 4 orang anggota komunitas masyarakat adat Semende Agung Bengkulu dengan penjara tiga tahun dan denda Rp. 1.5 Miliar,” terang Abdon Nababan.

Di Sumatera Selatan juga begitu. M. Nur Jafar dan kawan-kawan kena vonis penjara 2,6 tahun oleh Pengadilan Negeri Palembang pada 21 Oktober 2014. Mereka ini adalah anggota masyarakat adat Tungkal yang berjuang memperjuangkan hak-haknya, namun dianggap sebagai pelanggar UU P3H (Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) yang terkenal sangat kontroversial itu.

Keberadaan UU itu juga dianggap sebgai kegagalan pemerintahan SBY. Bukannya apa-apa, isi UU itu rentan mengangkangi hak-hak masyarakat adat, sebaliknya, pro kepada dan melindungi kepentingan pemodal dan asing.
Penanda ketidakberhasilan SBY lainnya adalah mandeknya Rancangan Undang-undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di parlemen kita. Padahal, selama 10 tahun lamanya Partai Demokrat, partainya mantan Presiden SBY, menjadi mayoritas di DPR.

Semakin kuat saja, mengingat SBY membentuk Sekertariat Gabungan yang diisi oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan lain-lain, minus PDI-P, yang rame-rame dengan setia mendukung kebijakan pemerintah. Jadi sebenarnya tidak ada masalah toh kalau RUU itu disahkan? Kalau mau dikoordinasikan, jadi deh tuh UU.

Lagipula SBY sudah berjanji kepada masyarakat adat bahwa dia dan pemerintah berkomitmen secara sungguh-sungguh dengan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Janji itu disuarakan pada tahun 2006 dalam pidatonya di Taman Mini Indonesia Indah saat menyambut Perayaan Hari Masyarakat Adat se-dunia. Diliput pers dalam negeri dan internasional.
Ditunggu-tunggu hingga akhir masa jabatannya, eh tak juga disahkan RUU itu. “Selama belum ada UU PPHMA, kriminalisasi Masyarakat Adat akan terus terjadi,” uajr Abdon mengingatkan.

“Jangan salahkan Masyarakat Adat kalau negara tidak dianggap eksistensinya kalau begitu,” tegas Abdon dengan mimik sangat serius.

Pengganti SBY, Jokowi, diharapkan tidak mengikuti kegagalan-kegagalan yang sudah ada. Apalagi janji Jokowi lebih kuat ketimbang Jokowi. Itu makanya 100 persen dukungan diberikan oleh ribuan komunitas masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN dalam kampanye pemenangan Jokowi -Jusuf Kalla. “Negara harus hadir, Jokowi harus jadi motornya, jangan nanti dia dianggap pemimpin gagal juga,” harap Abdon. Baca juga: http://suaraagraria.com/detail-21231-uu-p3h-itu-perangkap-kriminalisasi-masyarakat-adat-dan-petani-hutan.html#.VKUUeloxFdg

Catatan 2014 untuk Gubernur dan Bupati/Walikota


Oleh: Munadi Kilkoda
Ketua AMAN Malut

Tulisan ini menggambarkan situasi masyarakat adat di Maluku Utara pada 2014, termasuk perjuangan mereka untuk memperoleh kembali hak-hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam.

Menjelang pergantian tahun, tentu kita berharap banyak kedepan ada perubahan yang berhubungan pemenuhan hak hidup masyarakat adat. Ini masih menjadi harapan besar, walaupun tentu tanda-tanda kesitu terbilang sangat kecil peluangnya. Kenapa demikian..?? mari kita melihat apa yang terjadi pada tahun yang sebentar lagi kita lewati ini.

2014 bisa dikata sebagai tahun dengan konflik hak yang masih terbilang tinggi, AMAN mencatat ada 30 kasus agrarian yang terjadi pada tahun ini dan merata hampir di semua Kab/Kota. Konflik tersebut diberbagai sektor, baik sector pertambangan, perkebunan, kehutanan dan infrastruktur. Pertambangan, perkebunan dan kehutanan mendominasi seiring kebijakan pemerintah untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah dengan mengandalkan sector tersebut. Sementara infrastruktur dikarenakan upaya percepatan pembangunan karena semangat otonomi daerah.

Kebijakan ini tidak sejalan dengan percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sebagai kelompok paling rentan dalam pembangunan. Dalam kasus seperti masyarakat adat Banemo, Peniti, Masure, Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, Gemaf, Woejerana, Lukulamo, Pagu, Gane, Tobelo Dalam, Bicoli, Wasile, Loleo, Sagea, Buli, Sahu, dan Galela, adalah gambaran dari ketidakadanya pengakuan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat. Pengabaian hak mereka yang telah diatur oleh UUD, UU sektoral, maupun Putusan MK, itu mengakibatkan konflik terus-menerus terjadi. Klaim hak menjadi dasar persoalan dalam perebutan ruang (wilayah) dan sumberdaya alam disamping persoalan-persoalan lain yang diperkarakan masyarakat adat seperti kerusakan lingkungan, krisis social maupun kriminalisasi yang kerap terjadi seiring dengan kebijakan tersebut. Perebutan ruang itu ibarat satu kebun, namun ada tiga pihak (Negara, masyarakat adat, perusahan) saling klaim penguasaan.

Masyarakat adat harus berjuang sendiri agar Negara mengakui hak mereka atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Sementara Negara hadir dalam wajah yang berbeda. Kehadiran Negara pada masyarakat adat identiknya investasi yang massif. Belum lagi dilakukan tanpa melalui sebuah proses yang adil dan terbuka yang melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan untuk setuju atau tidak setuju atas kebijakan tersebut. Begitulah situasi yang harus dihadapi masyarakat adat. Padahal hak mereka diakui oleh Negara lewat produk hokum yang dihasilkan. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, yang kita harapkan bisa di implementasikan lebih kongkrit oleh pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), ternyata satu tahun lebih setelah putusan itu keluar tidak sama sekali dilaksanakan. Padahal putusan ini menjadi jalan penyelesaikan konflik agrarian.

2014, melahirkan dilema pembangunan. Tanah adat dan sumberdaya alam di dalamnya dijadikan sebagai kontestasi yang lebih banyak merugikan masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat terutama atas hutan dikoversi untuk kegiatan perkebunan, pertambangan dan kehutanan, lalu masyarakat adat dilarang untuk mengakses kawasan tersebut. Kasusnya seperti larangan PT WBN kepada masyarakat adat Sawai untuk membuka lahan baru di wilayah pertambangan mereka. Larangan Gubernur dan pihak Kehutanan kepada masyarakat ‘Tobelo Dalam’ untuk tidak beraktifitas di dalam kawasan hutan. Larangan Bupati Halteng kepada masyarakat Loleo yang berkebun diatas tanah yang diklaim tanah Negara dan kawasan hutan.

Sebelum KPK melakukan supervisi pertambangan, koleksi izin tambang di Malut sebanyak 335 IUP dengan luas wilayah tambang sebesar 2.618.670 hektar. Luas daratan Maluku Utara yang tersisa 709.130 hektar. Itu juga belum dihitung dengan perizinan di sector perkebunan seperti perusahan sawit. AMAN memperkirakan hampir 70% wilayah adat di Malut sudah dikonversikan menjadi areal tambang dan perkebunan.

Situasi ini tidak merubah pandangan pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan yang merugikan masyarakat adat itu. Bahkan terus dilanggengkan. Lebih serius lagi, muncul klaim pemerintah bahwa hutan dan tanah semuanya merupakan milik Negara. Ini pandangan yang sangat serius direspon, sebab bias pemahaman hokumnya. Kecil kemungkinan konflik agrarian akan terselesaikan, kalau pemahaman ini dipergunakan dalam perumusan kebijakan baru terutama di sector sumberdaya alam.

Inkuiri Nasional

Tahun ini, AMAN mendorong 3 kasus masyarakat adat (Pagu-PT NHM, Sawai-PT Weda Bay Nikel dan Tobelo Dalam-Taman Nasional) untuk masuk dalam perundingan nasional atau Inkuiri Nasional Komnas HAM. Komnas HAM sendiri telah memfasilitasi Dengar Pendapat Umum (DPU) untuk mendengar kesaksian langsung dari masyarakat sebagai pengadu dan perusahan/pemerintah sebagai teradu. Inkuiri Nasional ini sejalan dengan upaya bersama 12 Kementerian dan Lembaga (K/L) dibawah pimpinan KPK untuk penyelesaikan konflik hak di dalam kawasan hutan, termasuk hak masyarakat adat di Maluku Utara. Sehingga harapan besar Inkuiri bisa mengeluarkan rekomendasi yang memungkinkan ada jaminan perlindungan hak-hak masyarakat adat dikemudian hari.

Gerakan Pemetaan Wilayah Adat

Pemetaan wilayah adat sebagai bukti bahwa tanah, wilayah dan sumberdaya alam, bukan saja milik Negara. Putusan MK 35 tentang Hutan Adat secara jelas memisahkan hutan adat, hutan hak dan hutan Negara. Artinya jika di Maluku Utara ada masyarakat adat mengklaim kepemilikan hak yang dibuktikan berdasarkan sejarah asal-usul serta hokum adat yang mengatur penguasaan tersebut, itu menjadi bukti kepemilikan mereka.

Beberapa komunitas masyarakat adat seperti Hoana Pagu, Hoana Gura, Tobelo Dalam Dodaga, telah menyelesaikan peta wilayah adat mereka. Peta ini sebagai perwujudan bahwa mereka ada sehingga perlu diakui oleh Negara, bukan sebaliknya. Peta juga dimanfaatkan sebagai alat dalam merencanakan masa depan, juga menunjukan kedaulatan mereka atas sumberdaya alam di dalamnya. Pemetaan wiayah adat terus dilakukan. Beberapa komunitas masyarakat adat saat ini sedang dalam proses penyelesaian pemetaan.

Bagaimana 2015 nanti..??

Satu sisi kita masih pesimis di 2015 nanti konflik agrarian di Maluku Utara akan berkurang, apalagi kalau Master Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) tidak ditinjau kembali Presiden Jokowi. Kajian Komnas HAM (2014), MP3EI merupakan salah satu proyek yang tidak berprespektif HAM. Di Maluku Utara sendiri, sector yang di dorong dalam MP3EI adalah tambang di Halmahera dan perikanan di Morotai. Pemerintah daerah juga masih mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam sebagai basis utama pembangunan ekonomi daerah. Padahal kesalahan demi kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam ini sudah terjadi berulang-ulang kali. Ketergantungan pada sumberdaya alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menyebabkan terjadi kesenjangan social, bahkan masyarakat adat disingkirkan dari wilayah tinggal mereka.

Upaya masyarakat adat dengan pemetaan wilayah adat harus direspon positif oleh pemerintah dengan memberikan kepastian hokum hak milik atas wilayah dalam bentuk Perda, sejalan dengan Putusan MK 35. Perbaikan tata kelola SDA menjadi sangat penting. Pemerintah harus merubah cara pandang dalam mengelola sumberdaya alam. Pengelolaan yang tidak berprespektif HAM dan lingkungan hanya mendatangkan masalah yang membuat hidup masyarakat adat semakin susah, bahkan tambah miskin. Kita tidak saja punya tambang, ada juga potensi local seperti Pala, Cengkeh, Kelapa, Perikanan yang nilai ekonomisnya juga tak kalah tertandingi. Potensi ini belum digarap dengan baik. Pemerintah masih cenderung mendahulukan industry ekstraktif sebagai unggulan pembangunan.

Akhir tulisan ini saya ingin berkata, wilayah ini masuk kategori pulau-pulau. Luas daratan kita lebih kecil dari luas lautan. Jika industry ekstraktif seperti tambang kita dahulukan, itu adalah kecelakaan pembangunan. Pembangunan harus berdasarkan karakteristik wilayah. Semoga kedepan ada perubahan.

Senin, 29 Desember 2014

Masyarakat Adat Sagea-Kya Tolak PT FPM

Pembangunan pabrik (smelter) milik perusahan tambang PT First Pasific Mining yang berada di Desa Sagea dan Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, mendapat penolakan dalam bentuk demonstrasi dari masyarakat di dua desa tersebut. Penolakan ini juga dikarenakan perusahan sama sekali tidak perna melakukan sosialisasi AMDAL. Apalagi aktifitas perusahan ini jaraknya tidak berjauhan dengan pemukiman penduduk, Talaga Legae Lol, salah satu danau yang bersejarah serta menjadi pusat aktifitas ekonomi masyarakat serta Goa Boki Maruru yang menjadi andalan wisata serta tempat yang kaya dengan nilai sejarah.
warga Sagea unjuk rasa ke perusahan

Demontrasi yang berlangsung dari tanggal 20-21 Desember 2014 itu dipusatkan di lokasi perusahan. Puluhan massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat itu memblokir jalan masuk ke perusahan dengan sejumlah pohon yang mereka tebang lalu diletakan di sepanjang jalan. Mereka menyayangkan kebijakan bupati Halteng, Al Yasin Ali, yang mengeluarkan izin kepada perusahan diatas perkebunan warga. Bagi mereka perusahan ini tidak saja memberikan dampak negative terhadap kerusakan lingkungan, tapi juga masyarakat akan kehilangan sumber ekonomi utama dari hasil kebun seperti Kelapa, Pala dan Sagu.

Kami sangat menyayangkan kebijakan Bupati ini, sebab kehadiran perusahan akan membuat kami semakin sengsara, kami akan kehilangan tanah dan kebun yang ratusan tahun lamanya menghidupi kami, termasuk Goa Boki Maruru dan Talaga Legae Lol yang selama ini memberi kami ikan dan air untuk kebutuhan hari-hari” ungkap Supriyadi, salah satu massa aksi.

Lanjut Supriyadi, sangat aneh, satu sisi pemerintah mengkampanyekan pelestarian objek wisata Goa Boki Maruru tapi sisi lain mereka memberikan izin kepada perusahan tambang untuk mengeksploitasi kawasan wisata tersebut.
masyarakat blokir jalan perusahan

Bupati Al Yasin Ali lewat Malut Post (22/12) mengatakan, pembangunan pabrik smelter ini sendirinya akan memberi dampak kemajuan investasi pertambangan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten Halteng. “Ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan juga bisa mendorong akses lapangan pekerjaan masyarakat di perusahaan” ujarnya.
Sementara juru bahasa PT. First Pacific Mining Djohan Bonardi dilansir Malut Post (22/12) menyampaikan, sosialisasi AMDAL baru akan dilakukan setelah proses kegiatan peletakan batu pertama pabrik Smelter PT. First Pacific Mining dilakukan. “Target kami sosialisasi akan kami lakukan di desa-desa yang berdekatan dengan tempat beroperasinya perusahaan,” kata Djohan. Dia menyampaikan aksi yang dilakukan warga tidak mempengaruhi proses pembangunan pabrik Smelter yang dilakukan saat ini. “Tidak berpengaruh,”tandasnya
Perusahan dengan izin 540/KEP/241.A/2011 yang dikeluarkan oleh Bupati Halmahera Tengah ini dibawahi Pacific Group dengan luas konsesi sebesar 5.000 hektar. Sebagian wilayah konsesinya masuk dalam kawasan hutan lindung dan cagar alam seperti Goa Boki Maruru yang menjadi andalan pariwisata Halmahera Tengah.

Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Tengah, pada tanggal 21 Desember 2014, bersama-sama meletakan batu pertama pembangunan smelter di lokasi perusahan sebagai tanda dimulainya aktifitas pertambangan tersebut *(Iki/MK)